PDT. WEINATA SAIRIN: UMAT BERAGAMA DAN BERKEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YME BERTEKAD MERAWAT NKRI.

0
575

“Quod bonum, felix faustumque sit. Semoga (semuanya) baik, selamat dan mendatangkan kebahagiaan”.

 

 

Dalam interaksi kita dengan banyak orang dari berbagai kalangan, pada konteks yang spesifik, maka peranan bahasa sangat besar. Bahasa yang kemudian lebih khusus lagi : kata, word terminologi memiliki konotasi yang khusus yang berhubungan dengan situasi kondisi dan atau siapa lawan kita bicara. Keunikan bahkan keunggulan manusia adalah bahwa ia bisa berbahasa, ia memiliki bahasa. Tanpa bahasa kata Aldous Huxley maka manusia akan tidak ada bedanya dengan hewan. Bahasa membuat manusia berfikir secara sistemik. Dengan bahasa manusia melakukan abstraksi sekaligus simbolisasi dari realitas faktual empirik kedalam dunia ide. Bahasa bisa menjadi personifikasi dan aktualisasi kedirian manusia. Kekuatan pribadi seseorang bisa dideteksi dari bahasa yang ia gunakan, diksi dan terminologi yang ia ungkapkan dan “languages game” yang mengalir dari dirinya.

 

Kesantunan, keramahan, sikap yang elegan, etika seseorang bisa terlihat cukup jelas dari bahasa, kata dan istilah yang ia gunakan. Kesantunan bisa diekspresikan dalam berbagai kesempatan, termasuk dalam sebuah acara makan malam. Seorang ilmuwan kenamaan makan malam bersama Pangeran Inggris dan sekelompok sahabatnya. Pada saat kopi itu dihidangkan ilmuwan itu meminum kopinya dengan menggunakan cawan. Menyaksikan hal itu disekeliling meja terdengar ucapan yang ditahan dan suara terkikik-kikik.Ia memang seorang laki-laki yang sempurna; melihat situasi seperti itu sang Pangeran menuang kopinya kedalam cawan dan meminumnya dengan cara seperti yang dilakukan tamunya. Melihat isyarat yang ditunjukkan sang pangeran, akhirnya para sahabatnya juga mengikuti cara yang sama.

 

Persoalan pokok dalam cerita itu bukan terletak pada sang ilmuwan kenamaan yang ternyata *kuper* dalam konteks penguasaan hal ‘table manners’ tetapi pada sikap sang Pangeran yang “nunut” saja menggunakan cawan untuk minum kopi walaupun itu tidak sesuai dengan prosedur baku di istana yang sudah diatur oleh kepala urusan rumah tangga istana. Sang Pangeran lakukan itu demi terwujudnya kesantunan diplomatik dan tidak menimbulkan kegaduhan dalam acara makan malam istana.

 

Sang Pangeran menghargai sikap yang santun sebab itu ia tidak mengebohkan tentang cawan itu, ia malah mengajak yang lain untuk juga minum dari cawan. Ia amat menghargai ilmuwan terkemuka itu.

 

Ada lagi cerita tentang kesantunan yang dikemas dalam kata-kata. Jendral Evan F. Carlson seorang komandan marinir selalu merokok dimanapun dan kapanpun ketika ia menginginkannya. Sebuah kasus yang mengubah kebiasaan itu  terjadi di Boston di kantor editor media terkenal “The Christian Science Minitor”. Di kantor itu sang Jenderal mengeluarkan sebungkus rokok dari sakunya. Ia bertanya kepada seorang editor “Apakah anda keberatan jika aku merokok disini?”. Editor itu menjawab “Silakan saja, tapi belum pernah ada seorangpun yang melakukannya!” Carlson kemudian memasukkan kembali sebungkus rokok itu kedalam sakunya.

 

Banyak kata, ungkapan, diksi, terminologi, *terminus tehnikus* yang penggunaannya berbasis kesantunan dan keluhuran budaya. Di lingkup Kristen sebagai contoh ada orang yang pada sekitar 30 tahun yang lalu merasa harus mempersoalkan apakah cukup sopan menggunakan kata ganti “Engkau” untuk Tuhan. Pemersoalan itu tentu dilatarbelakangi oleh konsep berbahasa, aliran teologi, pembandingan dengan apa yang biasa berlaku dalam konteks interaksi antar manusia.

 

Penghalusan bahasa memang tidak selalu harus berarti *eufemisme*. Bahasa yang halus, cantik, elegan, jauh dari vulgar dan kasar amat dikembangkan oleh para penyair, novelis yang menyampaikan gagasan-gagasan dalam bingkai seni yang kadang menyentuh dan bahkan memukau. Kata *kiranya*, *semoga*, *mudah-mudahan* sebenarnya mengandung arti yang hampir sama, yaitu sebuah harapan agar terjadi hal-hal yang diinginkan di masa depan. Namun penggunaan tiga kata itu berbeda disesuaikan dengan konteks kalimat, lawan bicara dan isi dari harapan yang dimaksud. Perbedaan yang amat signifikan berada pada kata “kiranya” dibandingkan dengan dua kata lainnya. Dari pengalaman praktis, khususnya di lingkup kristiani kata *kiranya* lebih digunakan dalam konteks permohonan kepada Allah..

 

Dalam “Alkitab” , kitab suci umat kristiani kata “kiranya” digunakan dalam konteks memohon berkat Allah, misalnya dalam rumusan “Turunlah kiranya anugerah dan sejahtera dari Allah” : Kata “semoga” dan “mudah mudahan” biasanya digunakan dalam konteks berinteraksi antar manusia pada level apapun. Walaupun tidak juga disangkal dalam percakapan sehari-hari masih kita dengar kata-kata “semoga Tuhan mengabulkan doa kita” atau “mudah-mudahan Tuhan membimbing kita”.

 

Pepatah yang dikutip dibagian awal artikel ini berisi harapan agar semua proses kehidupan yang dijalani ini “semuanya baik, selamat dan mendatangkan kebahagiaan”. Harapan ini tentu berkaitan dengan kehidupan pribadi, komunitas, lembaga, bangsa dan negara.

 

Sesuatu yang baik, selamat dan bahagia akan terwujud jika relasi horisontal dan vertikal berjalan baik sesuai dengan etik moral; keluhuran ajaran agama, nilai budaya dan local wisdom, dan ketentuan peraturan perundangan. Pemilihan pimpinan pada level apapun tidak pernah mengganggu persatuan dan keutuhan NKRI jika semua peserta, tim sukses dan masyarakat berkomitmen kuat untuk tidak mencederai demokrasi dan untuk menjaga keutuhan NKRI.

 

Mari terus berdoa dan bekerja keras merawat NKRI yang majemuk.

 

Selamat berjuang. God bless.

 

*Weinata Sairin*

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here