Komnas Perempuan Desak Pemerintah Membatalkan Pembahasan RUU Cipta Kerja

0
309

Komnas Perempuan Desak Pemerintah Membatalkan Pembahasan RUU Cipta Kerja

 

Jakarta, 23 April 2020

 

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memandang penting agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020, sebagai bagian dari pembentukan peraturan perundang- undangan di Indonesia. Komnas Perempuan turut memantau pembahasan RUU, baik yang diajukan oleh Pemerintah maupun usul inisiatif DPR RI sebagai bagian dari pelaksanaan mandat Komnas Perempuan Salah satu agenda Prolegnas 2020 adalah RUU Cipta Kerja.

Pada 12 Februari 2020, Pemerintah telah menyerahkan Surat Presiden (Surpres), Naskah Akademik dan RUU Cipta Kerja kepada DPR RI. Pemerintah diwakili oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Keuangan, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Pada 14 April 2020, Badan Legislasi DPR RI melakukan pembahasan RUU Cipta Kerja dengan agenda rapat: 1) Pembahasan jadwal pembahasan RUU Cipta Kerja; 2) Pembahasan mekanisme pembahasan RUU Cipta Kerja; 3) Pembentukan Panja; dan 4) Penyerahan DIM dari Pemerintah.

Komnas Perempuan telah mengkaji RUU Cipta Kerja dan menemukan hal-hal sebagai berikut:

1. Politik hukum RUU Cipta Kerja adalah peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha. Hal ini terlihat dari agenda pengaturan didalamnya yang utama meliputi: penerapan perizinan berusaha berbasis risiko; penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha dan pengadaan lahan; penyederhanaan perizinan berusaha sektor; dan penyederhanaan persyaratan investasi. Naskah Akademis Omnibus Law merevisi 81 UU dan RUU Omnibus Law merevisi 73 UU. Dalam RUU Cipta Kerja, perbaikan ekosistem investasi dilakukan melalui pengaturan ulang terhadap: 1) Penyederhanaan Perizinan; 2) Persyaratan Investasi; 3) Ketenagakerjaan; 4) Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan UMKM; 5) Kemudahan Berusaha; 6) Dukungan Riset dan Inovasi; 7) Administrasi Pemerintahan; 8) Pengenaan Sanksi; 9) Pengadaan Lahan; 10) Investasi dan Proyek Pemerintah; dan 11) Kawasan Ekonomi;

2. Perubahan aturan ketenagakerjaan dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja adalah terkait dengan rumusan pesangon dan sistem tentang pengupahan. Pengupahan yang ditetapkan berdasarkan: a. satuan waktu; dan/atau b. satuan hasil; (upah per-jam dan upah kerja borongan). Dengan adanya perubahan sistem pengupahan tersebut dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja, maka rumusan pengupahan berdasarkan kebutuhan hidup layak telah dihilangkan. Besaran rumusan pesangon dalam UU Ketenagakerjaan juga diubah dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Hal tersebut akan berdampak pada pelemahan sistem pengupahan yang sudah diatur dalam UU Ketenagakerjaan;

3. RUU Cipta Kerja melakukan penurunan standar perlindungan hak-hak maternitas yang mengatur bahwa dalam pemenuhan hak cuti haid, perusahaan tidak berkewajiban membayar upah atas cuti haid tersebut. Fleksibilitas standar upah untuk pekerja padat karya yang mayoritas pekerja/buruh adalah perempuan berdampak pada penurunan kebutuhan hidup layak bagi pekerja/buruh perempuan. Fleksibilitas tenaga kerja memunculkan kerentanan bagi pekerja/buruh dalam status kerja kontrak secara lebih luas.

Terhadap isi RUU Cipta Kerja dan proses pembahasan RUU Cipta Kerja ini, Komnas Perempuan berpendapat:

1. Pembangunan nasional Indonesia dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, merata, materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Hak pekerja perempuan telah dijamin dalam UUD RI 1945, yang berarti merupakan hak konstitusional. Hak pekerja perempuan,dijamin dalam Pasal 27 menyatakan, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Pasal 28D ayat (2) menyatakan, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubugan kerja”. Juga dalam Pasal 28I bahwa “Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.

Ketentuan di atas menegaskan hak konstitusional pekerja perempuan berhak atas kelangsungan hidup, kondisi kerja yang layak, jaminan keselamatan dan kesehatan kerja (K3), hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi serta hak kemudahan dan perlakuan khusus;

3. Selain telah dijamin dalam konstitusi, Negara Indonesia telah mengesahkan berbagai Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan melalui UU No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW). Pengesahan konvensi tersebut memberikan kewajiban kepada Negara Indonesia untuk memenuhi hak perempuan termasuk penghilangan diskriminasi upah, dan perlindungan hak-hak matenitasnya;

4. Secara lebih rinci hak-hak pekerja itu dijabarkan dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 4 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjamin perlindungan hak-hak dasar pekerja/buruh dan kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apa pun demi mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan dunia usaha dan peningkatan mutu tenaga kerja yang meliputi: a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara secara optimal dan manusiawi; b. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;

c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan d. meingkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, juga telah memuat beberapa aturan terkait dengan kesejahteraan pekerja/buruh, dan bagaimana pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan.

5. Secara khusus perlindungan hak pekerja/buruh perempuan diatur dalam Pasal 76 tentang larangan mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil pada waktu malam hari dan Pasal 81 tentang pelaksanaan cuti haid bagi pekerja/buruh yang mengambil cuti haidnya dengan mendapatkan upah penuh selama cuti haid. Pasal 82 dan Pasal 83 mengatur tentang cuti melahirkan, cuti keguguran dengan mendapatkan upah penuh selama cuti, serta hak atas kesempatan sepatutnya menyusui anaknya selama waktu kerja;

6. Dalam kondisi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang menuntut berbagai pihak berpartisipasi dalam gerakan pencegahan penularan dan penanganan COVID 19, perhatian masyarakat tak lagi bisa dicurahkan untuk mengawal Omnibus Law RUU Cipta Kerja terutama berpartisipasi dalam perumusan perundang-undangan sebagai pihak yang dijamin oleh Konstitusi RI dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.

Pemerintah juga tidak menjalankan rekomendasi Organisasi Buruh Internasional (ILO) tentang hak hubungan tripartit di mana pekerja memiliki hak untuk terlibat dalam konsultasi bersama dengan pemerintah dan pengusaha. Fakta ini menunjukkan bahwa pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja mengabaikan transparansi.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, Komnas Perempuan merekomendasikan pada Pemerintah dan DPR RI untuk:
a. Membatalkan pembahasan RUU Cipta Kerja yang berpotensi mengancam kesejahteraan kelompok rentan di Indonesia yaitu bagi pekerja/buruh;

b. Melibatkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPA) dalam membahas hak-hak pekerja/buruh perempuan dalam peningkatan standar perlindungan.

Narasumber Komisioner: Rainy Hutabarat Siti Aminah Theresia Iswarini Tiasri Wiandani

Narahubung:
Yulita (08562951873)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here