Pdt. Weinata Sairin: “Menebar Kedamaian di Sudut-sudut Nusantara”

0
798

 

“Pax vobiscum. Semoga damai ada pada Saudara sekalian.”

 

Kata “damai”, “perdamaian” dalam beberapa waktu terakhir ini makin di kedepankan lagi dalam perbincangan ditengah masyarakat.

 

Kata-kata “Damai dibumi” memang sudah menjadi kata yang amat populer bahkan pada aktivitas perayaan dan ibadah Natal, kata-kata itu selalu menjadi tema utama.

 

Dalam rangka perayaan Natal 2017, lembaga keagamaan Kristen dan Katolik tingkat nasional yaitu Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia(PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) telah menetapkan tema Natal nasional : “Hendaklah Damai Sejahtera Kristus Memerintah Dalam Hatimu”( Kolose 3:15a)

 

Sejalan dengan itu, Kementerian Agama RI dalam rangka mememperingati HUT, yang biasa disebut Hari Amal Bhakti (HAB), pada HAB Kemenag ke-72, 3 Januari 2018 ini telah menetapkan Tema “Tebarkan Kedamaian”.

 

Upaya untuk mengusung dan mengedepankan kembali tema diseputar ‘damai’ memiliki dasar yang amat kuat. PGI, KWI, Kemenag tentu memiliki landasan yang legitim dari aspek teologi dan sosial-politik tentang tema “damai”. Dimensi perdamaian yang selalu dikumandangkan dalam peristiwa Natal disuarakan lagi dalam tema Natal tahun 2017 agar spirit dan praksis perdamaian itu benar-benar mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia utamanya dalam memasuki Tahun Politik, tahun 2018 yang di dalamnya ada lebih 170 wilayah di Indonesia yang akan menyelenggarakan Pilkada secara serentak.

 

Menarik sekali karena Tema HAB ke-72 tahun 2017 adalah “Tebarkan Kedamaian”. Melalui tema ini Kemenag ingin mengajak dan mendorong seluruh keluarga besar Kemenag agar menjadi penebar–penebar kedamaian ditengah realitas kehidupan. Erich Fromm menyatakan bahwa kekerasan tak bisa dipisahkan dari kehidupan umat manusia. Fromm menyebut peristiwa pembunuhan manusia yang pertama sebagaimana diceritakan dalam Kitab Suci.

 

Mengacu pada pikiran Fromm itu kekerasan memang telah menjadi bagian dari sejarah awal peradaban manusia. Dan aroma serta nafsu kekerasan itu kemudian terus mengalir menjadi bagian integral dari kehidupan manusia. Sejarah kekerasan itu sendiri telah cukup lama ada, setua sejarah manusia itu sendiri.

 

Ketika HAB ke-72 menetapkan “Tebarkan Kedamaian” sebagai tema hal itu memiliki makna amat penting untuk menegaskan bahwa panggilan historis Kemenag tahun 2018 adalah _menebarkan kedamaian_. Kemenag harus mengajak agama-agama menjadi pionir dan penggerak perdamaian ditengah realitas kehidupan. Hans Kung tahun 1989 menyatakan bahwa “tak ada perdamaian dunia jika tak ada perdamaian antar agama”. Agama-agama acapkali menjadi dan dijadikan pemicu dalam berbagai konflik yang ada terjadi dalam masyarakat. Dalam latar belakang itu, ketika hal-hal yang berkaitan dengan agama sangat sensitif maka agama-agama harus benar-benar mampu menampilkan diri sebagai duta perdamaian.

 

Dalam konteks mengimplementasikan tema itu kita yakin Kemenag akan mengusung berbagai program baru mengaktualisasi makna “damai” dalam masyarakat majemuk Indonesia. Program live in, dialog interaktif, FGD, sarasehan akan menyorot dan mengkaji makna “damai” dalam konteks kekinian.

 

Selain itu dalam upaya merespons realitas yang hadir dalam medsos, berupa ujaran kebencian, postingan yang penuh dengan hujatan terhadap sara, Kemenag dimungkinkan membangun kerjasama dengan Badan Siber Nasional Indonesia sehingga postingan yang merusak perdamaian dan kontra produktif itu bisa ditindak sesuai dengan ketentuan perundangan.

 

Sebagai umat beragama kita semua terpanggil untuk mewujudkan perdamaian dalam kehidupan praktis diberbagai level. Pengalaman dalam membangun kehidupan damai berbasis sara diberbagai tempat dan dalam berbagai level/aras bisa dishare ke banyak pihak sehingga daya tularnya memiliki dampak positif. Relasi rukun dan damai antar warga berbagai agama, misalnya yang terjadi di Kampung Tengah Kramat Jati Jakarta Timur, Kampung Sawah Pondok Gede Bekasi, Manado Sulut dan sudut-sudut nusantara lainnya harus ditularkan dan ditebarkan ke berbagai wilayah agar kondisi itu bisa mempengaruhi kehidupan kita bermasyarakat dan berbangsa.

 

Kedamaian dan kerukunan membutuhkan tokoh, teladan, figur yang berintegritas. Bukan tokoh yang mengejar popularitas dan “menjual” kerukunan hingga ke berbagai negeri demi kepentingan pribadi dan golongan. Tokoh teladan yang dalam tindakan dan ucapannya mengayomi kebhinekaan dan bukan membela agamanya sendiri. Tokoh seperti misalnya Buya Syafii Maarif, Gus Solah, KH Nazaruddin Umar amat kuat daya inspirasinya bagi kita yang rindu damai dan rukun hadir di zaman ini. Mari menebar kedamaian di seluruh sudut nusantara. Itu tugas sejarah kita di zaman “now”!

 

Selamat berjuang. God bless.

 

*Weinata Sairin*

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here