Kampanye Global 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan: #Gerak Bersama Hapuskan Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan, UN Women dan Komnas HAM) Di Pusat Kebudayaan Amerika

0
381

 

Jakarta, Protestantpost.com

Sejarah Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence) pada awalnya merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Aktivitas ini sendiri pertamakali digagas oleh Women’s Global Leadership Institute pada tahun 1991 yang disponsori oleh Center for Women’s Global Leadership.

Lebih dari 3.700 organisasi dari sekitar 164 negara berpartisipasi dalam
kampanye setiap tahun. UN Women sebagai bagian dari badan organisasi PBB kemudian mengadopsi kampanye tersebut. Dikatakan bahwa kampanye global ini diperlukan karena sudah terlalu lama masalah kekerasan terhadap
perempuan menjadi impunitas, tidak terdengar dan mengalami stigma.
Situasi seperti ini mengakibatkan kekerasan terhadap perempuan
meningkat, UN Women mencantumkan bahwa satu dari tiga perempuan di
seluruh dunia mengalami kekerasan berbasis gender.

Dalam beberapa tahun terakhir, menjadi perhatian seluruh dunia suara
para penyintas dan aktivis, melalui kampanye seperti #MeToo, #TimesUp,
#Niunamenos, #NotOneMore, #BalanceTonPorc dan lainnya, telah mencapai puncak yang tidak dapat dibungkam lagi. Di Indonesia pada dua tahun yang lalu kemudian dikenal dengan gerakan #GerakBersama untuk penghapusan kekerasan seksual.

Di seluruh dunia, kita perlu memahami bahwa meskipun nama dan konteksnya
mungkin berbeda di seluruh letak geografis, perempuan dan anak perempuan dimana pun mereka berada, mengalami kekerasan yang terjadi secara terus menerus, karena itu cerita mereka perlu disoroti, dan dilindungi.

Lily Puspasari (Programme Management Specialist UN Women) mengatakan,
“Di seluruh bagian dunia, perempuan dan anak perempuan terus mengalami
kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan kerap kali luput dari perhatian dan suara penyintas tidak terdengar. Hal ini dikarenakan seringkali
perempuan yang terkena kekerasan disalahkan dan testimoni mereka
diragukan. Melalui Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan
#HearMeToo, mari kita mendorong semua pihak untuk berdiri dalam
solidaritas dengan penyintas dan gerakan anti kekerasan, serta mulai
bersuara untuk akhiri kekerasan terhadap perempuan.”

Mengapa Kekerasan terhadap Perempuan Harus Dihapuskan?
UN Women menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan (dan anak perempuan) adalah salah satu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang paling luas, terus-menerus dan menghancurkan perempuan dan anak
perempuan di seluruh dunia, dan sampai saat ini sebagian besar masih
sulit untuk dilaporkan karena adanya impunitas, sikap diam, stigma dan
rasa malu baik korban maupun lingkungan sekitarnya. Secara umum, UN
Women melaporkan bahwa kekerasan terhadap perempuan dimanifestasikan
dalam bentuk fisik, seksual dan psikologis, meliputi:

-Pertama, kekerasan oleh pasangan baik yang sudah menikah maupun yang
belum menikah dalam bentuk pemukulan, pelecehan, psikologis, perkosaan, dan femicide atau pembunuhan terhadap perempuan;
-Kedua, kekerasan dan pelecehan seksual (dalam bentuk pemerkosaan,
tindakan memaksa berhubungan seksual, hasrat seksual yang tidak
diinginkan, pelecehan seksual anak, pernikahan paksa (termasuk
pernikahan anak), pelecehan di jalanan atau ruang publik, penguntitan,
pelecehan dalam media cyber;
-Ketiga adalah perdagangan manusia dalam bentuk perbudakan dan
eksploitasi seksual;

-Keempat adalah mutilasi genital perempuan dan perkawinan anak.

Untuk lebih memperjelas, Deklarasi tentang Penghapusan Kekerasan
terhadap Perempuan yang dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun
1993, mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan sebagai “Setiap
tindakan kekerasan berbasis gender yang menghasilkan, atau memungkinkan
akan mengakibatkan kekerasan dalam bentuk fisik, seksual, psikologis
atau penderitaan terhadap perempuan, termasuk ancaman, paksaan atau
perampasan kebebasan perempuan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi. ”

Konsekuensi kesehatan psikologis, seksual dan reproduksi adalah yang
paling banyak terjadi dan mempengaruhi semua tahap kehidupan perempuan.
Kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi pada siapa saja, di mana
saja, beberapa perempuan dan remaja yang sangat rentan – misalnya,
perempuan remaja dan perempuan lanjut usia (lansia), perempuan yang
diidentifikasi sebagai lesbian, biseksual, transgender atau interseks,
perempuan migran dan pengungsi, perempuan lokal dan perempuan etnis
minoritas, atau perempuan dan remaja perempuan yang hidup dengan HIV dan
disabilitas, dan mereka yang hidup dalam krisis kemanusiaan.

Kekerasan terhadap perempuan terus menjadi hambatan untuk mencapai
kesetaraan, pembangunan, perdamaian serta pemenuhan hak asasi perempuan
dan anak perempuan. Secara keseluruhan, janji Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (SDGs) – tidak meninggalkan siapa pun di belakang – tidak dapat dipenuhi tanpa mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan.

Situasi dan Konteks Indonesia dalam Kampanye Global

Dalam konteks Indonesia, Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap
Perempuan (16HAKTP) ini diinisiasi oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan
terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), lembaga negara Hak Asasi Manusia (HAM) yang berfokus pada hak-hak perempuan atau hak asasi perempuan.

Keterlibatan Komnas Perempuan dalam kampanye tersebut telah dimulai
sejak tahun 2001, dengan memfasilitasi pelaksanaan kampanye di wilayah-wilayah seluruh Indonesia yang menjadi mitra Komnas Perempuan.

Hal ini sejalan dengan prinsip kerja dan mandat Komnas Perempuan yakni
untuk bermitra dengan pihak masyarakat serta berperan memfasilitasi upaya terkait pencegahan dan penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan.

Komnas Perempuan telah menyatakan sikap dan memberikan rekomendasi
penting tentang:
1.Pertama, Perlunya segera mensahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Kasus yang mencuat di media nasional adalah tentang kekerasan seksual yang dialami oleh seorang mahasiswi di sebuah
universitas, menunjukkan bahwa kekerasan seksual masih dianggap bukan pelanggaran berat di kalangan civitas akademik. Kedua, kasus seorang ibu yang dikriminalkan melalui UU elektronika, akibat membela dirinya
sendiri atas kekerasan seksual secara verbal yang dialaminya.

Menunjukkan bahwa kasus-kasus kekerasan seksual belum dipahami apalagi terjangkau oleh hukum;
2.Kedua, Komnas Perempuan mengkritisi lambatnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual dibahas DPR RI yang tidak kunjung dibahas dan disahkan di DPR sampai sekarang. Padahal regulasi terkait kekerasan seksual saat ini sangat minim, hanya berpegang pada KUHP. Hal
ini menjadi tantangan bagi sejumlah kasus kekerasan seksual yang terus
meningkat dilaporkan banyak korban perempuan;

3.Ketiga adalah trend kekerasan terhadap perempuan berbasis cyber. Akhir tahun 2017 yang lalu, terdapat 65 kasus kekerasan terhadap perempuan di
dunia maya tercatat yang dilaporkan korban ke Unit Pengaduan untuk
Rujukan (UPR) Komnas Perempuan. Bentuk kekerasan yang dilaporkan cukup
beragam dan sebagian besar masih dilakukan oleh orang yang dekat dengan
korban seperti pacar, mantan pacar, dan suami korban sendiri. Luasnya
akses dalam ranah dunia maya juga memungkinkan adanya pihak lain yang
menjadi pelaku kekerasan, seperti kolega, supir transportasi online,
bahkan orang yang belum dikenal sebelumnya (anonim). Selain itu
kejahatan cyber bukanlah bentuk kekerasan terhadap perempuan biasa,
namun juga kejahatan transnasional yang membutuhkan perhatian khusus
dari pemerintah.

Kerjasama Global

Tahun ini dalam hal Kampanye Global 16 Hari Anti Kekerasan terhadap
Perempuan, Komnas Perempuan menggandeng @america (Pusat Kebudayaan Amerika), UN Women, dan Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) untuk melakukan kampanye bersama menghentikan kekerasan terhadap perempuan, menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang serius, dan terutama kekerasan seksual. Komnas HAM melaporkan bahwa begitu banyak kekerasan terhadap perempuan atau kekerasan berbasis gender dalam hal politik, terutama dalam pelanggaran HAM di masa lalu, yang menunjukkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia tidak dapat lepas dari perspektif gender, dan perlu menjadi mainstream dalam pandangan seluruh dunia tentang wacana hak asasi manusia.

Chairul Anam mengatakan, “Banyak kasus dalam pelanggaran HAM yang berat, perempuan juga mengalami kekerasan, bahkan kekerasan ini juga dialami oleh perempuan setelah kejadian pelanggaran HAM berat tersebut telah
berlalu. Perempuan dalam beberapa kasus banyak dijadikan instrument of
war, untuk memaksa suami, anak atau saudaranya menyerah. Dalam konteks
inilah penting melihat pelanggaran atau kejahatan HAM dalam spektrum dan
perspektif perempuan, agar akar kejahatan itu berlangsung dan bagaimana keadilan ditegakkan.

Perempuan dalam konteks HAM, juga tercatat sebagai survivor paling
tangguh dan konsisten. Hal ini ditunjukkan dengan berbagai pengalaman lapangan bagaimana perempuan mampu menyimpan narasi, menyampaikannya dan melakukan advokasi.

Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan bukan hanya menjadi topik penting Nasional, melainkan Global. Mari gerak bersama untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan!” #Gerak Bersama Hapuskan
Kekerasan terhadap Perempuan.

Kontak Narasumber:
Mariana Amiruddin (Komisioner Komnas Perempuan)
Lily Puspasari (Programme Specialist at UN Women)
Mohammad Choirul Anam (Komisioner Komas HAM)

Kontak Komunikasi:
Radhiska Anggiana, Communications Officer UN Women,
radhiska.anggiana@unwomen.org.
Chris Purba, Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan,
chris@komnasperempuan.go.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here