Mendukung Mahkamah Konstitusi

0
460

*EDITORIAL MEDIA INDONESIA*

*PERSIDANGAN sengketa Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019 di Mahkamah Konstitusi sudah dimulai sejak kemarin, Jumat (14/6).* Pada sidang perdana itu, tim kuasa hukum pemohon, yakni Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, mengajukan sebanyak 15 poin petitum dalam gugatan mereka terkait dengan hasil Pilpres 2019.

*Sidang dilanjutkan pekan depan hingga sidang terakhir yang dijadwalkan pada 24 Juni mendatang.* Sesuai jadwal pula, MK akan membacakan putusan sengketa Pilpres 2019 pada 28 Juni. *Pada titik itulah kita berharap putusan MK menjadi akhir dari proses pilpres sekaligus awal terbentuknya pemerintahan baru yang sah.*

*Namun, sebelum sampai pada putusan, amat mungkin MK sebagai lembaga dan hakim-hakimnya yang akan memimpin sidang selama kurang lebih dua minggu ke depan tersebut bakal menghadapi banyak tantangan, tekanan, dan intervensi.*

*Kekhawatiran itu cukup beralasan karena di hari-hari sebelum persidangan awal dimulai, ada pihak-pihak yang terus mengembuskan praduga dan opini bahwa majelis hakim MK tidak memiliki independensi*. Mereka juga acap membangun narasi seolah-olah MK ialah bagian dari rezim saat ini.

*Padahal, jelas, jika mengacu pada dokumen-dokumen internasional seperti Universal Declaration of Human Rights (UDHR), the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), the Bangalore Principles of Judicial Conduct (2002), serta Mt Scopus International Standards of Judicial Independence (2008), secara prinsip MK ialah lembaga negara pengawal konstitusi yang memiliki independensi penuh.*

*Independensi peradilan MK tidak boleh dicampuri urusan-urusan selain hukum dan keadilan, termasuk urusan politik*. Karena itu, siapa pun mestinya dapat menghargai independensi yang dimiliki MK. *Bila perlu, publik ikut menjaga independensi tersebut, bukannya malah memanas-manasi suasana dengan melempar tudingan-tudingan soal adanya keberpihakan MK kepada pihak tertentu sebelum ‘pertandingan’ dimulai.*

*Adalah hak publik untuk menuntut MK dan hakim-hakimnya dapat menghasilkan putusan persidangan yang fair dan berkeadilan, yakni putusan, yang di satu sisi, jauh dari tekanan apa pun di luar fakta hukum yang berkaitan dengan sengketa hasil pemilu*. Di sisi yang lain, putusan juga dapat diterima seluruh pihak yang bersengketa.

*Namun, secara etika, publik semestinya tak boleh hanya menuntut*. Publik hendaknya juga tekun memberikan dukungan kepada hakim-hakim konstitusi di lembaga itu agar mereka tak mudah tunduk oleh tekanan. *Bagaimanapun hakim MK juga manusia biasa yang perlu disokong secara moral oleh publik agar mereka dapat bersidang secara independen dan imparsial.*

*Kita patut bersyukur bahwa pada sidang perdana, kemarin, sudah ada kesadaran dari semua pihak untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan prinsip demokrasi,* termasuk tidak ada pengerahan massa untuk mengintimidasi dan memengaruhi jalannya persidangan di MK.

*Kita juga mengapresiasi kelegowoan kubu tergugat, yakni tim hukum pasangan calon Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Komisi Pemilihan Umum (KPU), terhadap kebijakan hakim MK yang mengizinkan penggugat memakai gugatan perbaikan meskipun sebetulnya, menurut mereka, itu ilegal dan di luar kerangka hukum acara*. Keduanya, bahkan sudah memastikan akan tetap menjawab gugatan perbaikan itu dan disampaikan kepada MK dalam persidangan pekan depan.

*Patutlah kita katakan sidang perdana, kemarin, ialah langkah awal yang sangat baik*. Atmosfer bagus tersebut tentu mesti didukung, dijaga, dan dikawal agar menular ke proses persidangan selanjutnya. *Dengan cara itulah kita bisa menaruh kepercayaan dan harapan kepada MK sebagai benteng terakhir penyelesaian perselisihan pemilu yang keputusannya bersifat final dan mengikat.*

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here