Komnas Perempuan: Kembalikan Rasa Aman yang Sejati bagi Masyarakat Papua dengan Mengedepankan Martabat dan Tanpa Kekerasan

0
511

 

Jakarta, Protestantpost.com

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan keprihatinan yang teramat dalam atas terjadinya konflik yang meluas di Papua sejak peristiwa penyerbuan dan penghinaan yang bernuansa rasisme di Asrama Mahasiswa Papua di kota Surabaya pada 17 Agustus 2019.

Kasus penghinaan bernuansa rasisme tersebut hanyalah pemicu dari
persoalan besar kekecewaan orang Papua yang tidak dituntaskan dari satu
rejim ke rejim yang lain. Situasi Papua saat ini adalah residu dari
kekerasan dan diskriminasi yang telah berlangsung selama 5 dekade, sejak
jaman Orde Baru hingga saat ini.

Dari dua pendokumentasian yang dilakukan Komnas Perempuan bersama
Jaringan Pembela HAM Perempuan Papua sepanjang tahun 2009 s.d 2014,
tergambar kekerasan dan diskriminasi terhadap Orang Asli Papua khususnya
perempuan, dan kondisi pemenuhan hak-hak ekonomi sosial dan budaya Orang Asli Papua dalam perjalanan proses pembangunan Papua. Kekerasan dan diskriminasi terjadi berulang di Papua dan Papua Barat tanpa ada
penegakan hukum, bahkan Pemerintah terkesan melakukan pembiaran.
Kekerasan seperti menjadi pelaziman. Kekerasan oleh negara, ditiru
menjadi kekerasan di komunitas dan meluas ke dalam rumah, karena
kefrustasian kolektif akibat konflik. Perempuan Papua menjadi korban
berlapis dari seluruh pusaran kekerasan dan diskriminasi tersebut. Kedua
laporan hasil pendokumentasian ini beserta sejumlah rekomendasi, telah
disampaikan kepada Presiden Joko Widodo di awal masa kerja pada tahun
2014, untuk dapat ditindaklanjuti.

Setelah kedua pendokumentasian di atas, Komnas Perempuan secara rutin
memperbaharui situasi HAM perempuan di Papua dan Papua Barat, khususnya
situasi kekerasan terhadap perempuan. Komnas Perempuan mencatat sejumlah
isu-isu krusial Papua yang masih harus dituntaskan antara lain:

1. Eksploitasi sumber daya alam dan alih fungsi hutan/lahan serta
kerusakan lingkungan, dimana dampak terbesarnya masyarakat tercerabut
sumber dan ruang hidupnya untuk dapat akses pangan dan tumbuhan yang
selama ini diperoleh di hutan, hilangnya sumber obat-obatan dan
hilangnya pusat kearifan dan spiritualitas bagi masyarakat adat, karena terjadinya perubahan alih fungsi lahan yang masif;

2. Rasa aman yang tidak benar-benar dipulihkan, karena perbedaan
persepsi “aman”. Pemerintah masih menggunakan pendekatan “keamanan”
dengan menghadirkan sejumlah aparat keamanan, sementara masyarakat Papua khususnya perempuan, memaknai rasa aman adalah tidak ada penempatan aparat keamanan, karena banyaknya aparat keamanan tanda situasi tidak aman. Kondisi ini memicu trauma mereka dan menghentikan aktivitas ekonomi bahkan memilih mengungsi, karena situasi dirasa tidak aman;

3. Korban konflik khususnya perempuan asli Papua yang pernah menjadi
korban kekerasan seksual hingga saat ini belum dipulihkan, juga tidak
ada upaya untuk meminta pertanggungjawaban pelaku, padahal penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua adalah jantung pengembalian martabat orang Papua;

4. Upaya-upaya yang dilakukan untuk menyejahterakan rakyat Papua,
tidak dinikmati oleh rakyat Papua pada umumnya dan hanya kepada kelompok
elite kuasa. Dana Otsus yang cukup besar tapi minim dirasakan perempuan,
bahkan memperburuk kekerasan terhadap perempuan, akibat meningkatnya peredaran dan penggunaan minuman keras (miras) yang sulit dikendalikan;

5. Persoalan kependudukan (demografi) dan minimnya politik afirmasi bagi
Orang Asli Papua pada peran-peran strategis, di ranah politik dan
ekonomi, serta minimnya ruang-ruang perjumpaan untuk dapat memahami
budaya Papua, berkontribusi dapat menjadikan situasi yang lebih rumit
dan semakin membuka peluang adanya perselisihan hubungan sosial antara
Orang Asli Papua dan pendatang;

6. Layanan publik yang tidak efektif, karena sering absennya pemerintah
daerah maupun korupsi yang mewabah, berkelindan dengan minimnya tenaga
medis walaupun layanan kesehatan gratis, hingga penyuluhan pangan sehat
yang tidak berbasis pada budaya Papua, sehingga berkontribusi pada
buruknya gizi perempuan dan stunting anak. Kondisi kesehatan semakin
diperburuk, karena warga Papua yang tidak memiliki kelengkapan dokumen
catatan sipil tidak dapat mengakses BPJS. Padahal banyak warga yang
tidak memiliki kelengkapan dokumen catatan sipil itu berawal dari hukum
negara yang tidak mengakui dan tidak mencatatkan perkawinan adat,
sehingga banyak keluarga tidak memiliki Kartu Keluarga yang merupakan
dokumen penting untuk mendapatkan dokumen catatan sipil lainnya;

7. Minimnya perlindungan bagi perempuan pembela HAM, menyebabkan timbulnya stigma separatis yang menghalangi hak sipil dan politik, pada akhirnya berdampak buruk pada hak, integritas dan ruang gerak para penggiat HAM.

Situasi di atas adalah persoalan-persoalan dasar yang menyebabkan
konflik di Papua sangat mudah meletus, meskipun upaya pemenuhan
kebutuhan dasar tetap diupayakan pemerintah. Namun akumulasi kemarahan selama 5 (lima) dekade ini meletus dan meledak lebih cepat dibanding upaya-upaya yang sedang dilakukan Pemerintah. Berdasarkan kondisi tersebut dan merespon eskalasi konflik sejak 17 Agustus 2019, maka
Komnas Perempuan menyerukan kepada:

1.Pemerintah, aparat penegak hukum dan seluruh masyarakat Indonesia
untuk mendalami dan memahami lebih jauh Papua dengan perspektif orang
Papua, sebagai upaya memulihkan Papua yang bermartabat dan tanpa
kekerasan;

2.Elit masyarakat, para politisi dan warga masyarakat secara keseluruhan, agar dapat menahan diri untuk tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang dapat memprovokasi konflik meluas/berulang, termasuk menyampaikan informasi bohong tentang situasi di Papua;

Selain itu, Komnas Perempuan juga merekomendasikan kepada:

1. Presiden RI:
– Memulihkan kondisi keamanan Papua dengan cermat, tanpa kekerasan dan
mengedepankan dialog, dengan antara lain: a) Melakukan dialog
secepatnya bersama tokoh masyarakat, tokoh adat, dan tokoh agama
khususnya gereja untuk mencegah terjadinya konflik yang lebih buruk dan
meluas; b) Membuka akses media ke Papua dan Papua Barat dan memastikan
jaringan informasi dan komunikasi publik kembali berfungsi secara
optimal; c) Memberikan ruang bagi keterlibatan/partisipasi perempuan
pada seluruh upaya penyelesaian konflik di Papua dan memastikan afirmasi
untuk berpartisipasi bagi perempuan asli Papua;
– Memerintahkan penuntasan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Papua, termasuk dalam hal ini membentuk Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR) sebagaimana yang telah dimandatkan oleh UU No. 21
tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua;
– Memastikan Pemerintah Nasional, Pemerintah Papua dan Papua Barat untu
melibatkan partisipasi masyarakat Papua termasuk perempuan dalam
pelaksanaan pembangunan, baik pembangunan infrastruktur maupun
pembangunan sumber daya manusia di Papua dan Papua Barat, sejak dari
perencanaan hingga evaluasi.

2. Kepolisian RI:

– Mengusut tuntas pelaku dan pihak-pihak yang terlibat pada peristiwa
yang bernuansa rasisme di asrama Papua di Surabaya dan perusakan
fasilitas publik di sejumlah tempat di Papua dan Papua Barat, agar
proses peradilan/pertanggungjawaban hukum dari pelaku dan pihak-pihak
yang terlibat dapat diupayakan;
– Memberikan jaminan keamanan bagi mahasiswa Papua untuk kembali dapat
belajar di semua kota di Indonesia, khususnya di Surabaya dan Malang,
karena pendidikan adalah hak dasar dan yang sangat dibutuhkan di Papua.

Kontak Narasumber:

Yuniyanti Chuzaifah, Komisioner
Saur Tumiur Situmorang, Komisioner
Indriyati Suparno, Komisioner
Mariana Amiruddin, Komisioner

Narahubung:
Elwi (+62-21-3903963)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here