EDITORIAL MEDIA INDONESIA
Tersengat Tarif Listrik
*LISTRIK merupakan kebutuhan pokok masyarakat*. Hampir tidak ada aktivitas, langsung atau tidak langsung, tanpa menggunakan listrik. *Ia sudah menjadi pendukung kehidupan dasar yang menyangkut hajat hidup orang banyak.*
*Jadi, apa pun yang terkait dengan listrik akan menyedot perhatian publik yang serupa jika muncul persoalan dengan urusan bahan bakar minyak (BBM) dan sembako*. Tidak mengherankan jika muncul hiruk-pikuk ketika muncul perubahan drastis soal tarif listrik.
*Apalagi di tengah-tengah pandemi covid-19, ketika semua orang harus mengencangkan ikat pinggang, dikejutkan tagihan listrik yang meroket*. Tagihan yang harus dibayarkan tiba-tiba dua kali lipat jika dibanding dengan biasanya, bahkan ada yang lima kali lipat dari bulan-bulan sebelumnya.
*Tak ayal berbagai spekulasi bermunculan di ranah publik, termasuk jagad maya*. Spekulasi itu, misalnya, PLN terapkan subsidi silang terhadap pelanggan yang disubsidi hingga tudingan PT PLN menaikkan tarif listrik secara sepihak.
*PLN membantahnya. Berdalih melonjaknya tagihan karena pemakaian di masa pandemi covid-19 lebih besar karena penerapan kebijakan kerja dari rumah*. Namun, ini sulit juga menjelaskan kenaikan dua hingga lima kali lipat. *Pasalnya, kebijakan kerja dari rumah diprediksi hanya menaikkan konsumsi listrik sampai 30%.*
*Pangkalnya ternyata PLN mengubah mekanisme penghitungan tagihan, dari sebelumnya yang berbasis pemakaian yang tertera di meteran listrik, kini dengan dihitung dari rata-rata tagihan tiga bulan terakhir*. Juga akumulasi atas pemakaian yang belum tertagih di bulan sebelumnya.
*Penerapan mekanisme tidak berbasis pemakaian bulanan ini dilakukan karena petugas tidak bisa ke rumah pelanggan untuk mengecek meteran akibat kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) terkait pandemik covid-19.*
*Selain berbasis rata-rata bulanan dengan pengecekan tiap tiga bulan, protokol yang disediakan PLN, yakni pelaporan meteran secara mandiri selama pandemi*. Mengandalkan proaktif pelanggan untuk melaporkan pemakaian listriknya di setiap meteran.
*Celakanya, tidak ada sosialisasi dari PLN perihal perubahan yang jelas merugikan pelanggan ini*. Pelanggan harus teriak dulu, penjelasan datang kemudian. *Cara-cara yang sangat kurang bijak, mengambil langkah sepihak sehingga tagihan meningkat tajam*. _Setelah banyak komplain, baru ada penjelasan._
*Sebagai BUMN yang menjadi operator tunggal industri kelistrikan, dengan pelanggan mencapai 75 juta lebih, PLN selayaknya punya protokol memadai menghadapi kondisi-kondisi darurat semacam ini*. Mestinya jauh lebih siap dengan protokol sosialisasi kepada pelanggan yang memadai.
*Memang, PLN tanggap dengan membuat posko layanan aduan melalui contact center PLN 123*. Selain itu, posko tersebut secara proaktif akan menghubungi pelanggan yang teridentifikasi mengalami kenaikan tagihan listrik cukup signifikan melalui telepon yang terdaftar pada basis data pelanggan PLN.
*Hingga kemarin, PLN telah berhasil menyelesaikan 7.802 aduan dari 9.076 aduan pelanggan yang masuk ke contact center PLN 123*. Hal ini sebenarnya tidak perlu terjadi jika sejak awal sudah ada antisipasi dari korporasi.
*Mungkin juga lupa tidak diantisipasi karena korporasi sibuk menyiapkan tanggung jawab untuk pemberian subsidi listrik bagi 24 juta rakyat dengan daya 450 vA dan pelanggan di kategori 900 vA yang berjumlah sekitar 7 juta selama tiga bulan selama pandemi covid-19 ini.*
*Untuk itulah, ke depan jelas PLN perlu membenahi sistem pencatatannya secara otomatis yang berbasis pemakaian bulanan, tidak lagi berdasarkan hitungan rata-rata, dalam kondisi apa pun*. Teknologi sudah memungkinkan, tidak hanya bagi pelanggan dengan sistem token pulsa listrik, juga pelanggan pascabayar. *Jangan sampai pelanggan teriak akibat tersengat tarif listrik.*