Pdt. Weinata Sairin:Menebar Kedamaian di ruang–ruang Kehidupan

0
642

 

“Famis sparsis, tempestates metantur. Menebar desas-desus menuai badai”

 

Dalam khazanah bahasa kita, istilah “desas-desus” sudah cukup lama dikenal dan dipergunakan baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Buku “Logat Ketjil Bahasa Indonesia” yang disusun oleh WJS Poerwadarminta, Penerbit JB Wolters, Groningen, Djakarta 1951 memberi arti dari kata “desas-desus” adalah “bunji orang berbisik” dan “kabar angin”. Penjelasan dari Kamus ini memang biasa dan ‘netral’ namun dalam praktik sehari-hari istilah “desas-desus” cenderung dominan berkonotasi “negatif”. Dalam beberapa contoh ini kecenderungan itu cukup kentara. “Ia desas-desusnya lulus S3 tapi disertasinya dibuat oleh stafnya”. “Ada desas desus pejabat itu melakukan korupsi dengan me “mark up” l harga proyek”.

 

Desas-desas atau acapkali disebut juga gosip, isu, rumor, cerita burung adalah cerita yang beredar di masyarakat yang belum tentu benar, dan tidak diketahui sumbernya. Dari segi kualitas dan validitas informasi, isinya sumir tapi tidak sedikit publik yang percaya bahkan dianggap info yang amat penting. Pada saat kita dibangku sekolah dulu, gosipnya sekitar soal-soal ujian, atau kisah cinta guru Kimia dengan guru Biologi. Sekali waktu ada juga desas-desus tentang seorang guru yang mengutip uang pembangunan dari orangtua murid dan ternyata uang itu sesudah diselidiki masuk ke kantong pribadi.

 

Dalam ruang publik yang berskala lebih besar dan luas bahkan mondial, rumor itu menyentuh aspek-aspek yang menyentuh moralitas pemimpin dan atau seputar jabatan di pemerintahan. Misalnya ada rumor tentang pemimpin X yang tertambat hatinya pada sekretarisnya dan yang kemudian menghancurluluhkan bangunan keluarga yang sudah demikian lama berdiri kukuh. Pada saat-saat pembentukan kabinet atau juga reshuffle selalu saja muncul rumor tentang calon-calon menteri yang akan menjadi pembantu presiden menggerakkan kabinet.

 

Dengan berpegang pada pemeo “tak ada asap jika tak ada api” maka dalam hal-hal tertentu banyak orang percaya pada desas-desus. Apalagi jika kemudian terjadi bahwa hampir separuh nama-nama yang digosipkan akan masuk dalam jajaran kabinet ternyata akhirnya benar-benar masuk.

 

Bergosip adalah kegiatan yang sering dilakukan oleh warga masyarskat diberbagai tempat dan oleh orang dari berbagai level. Seorang Laurent Begue bahkan menyatakan bergosip adalah “guilty pleasure”; sesuatu yang semestinya tak boleh dilakukan tapi tetap saja orang suka melakukannya. Dalam kajian seorang peneliti bergosip itu mampu membangun ikatan sosial. Sekitar 60 persen materi gosip itu adalah hal yang sudah tidak terjadi lagi sehingga gosip itu menjadi judgement. Bergosip disebut juga mampu menghadirkan hasrat berprilaku yang terus meningkat sehingga orang tidak jemu-jemu bergosip. Melalui aktivitas gosip terjadi pengembangan otak walaupun tidak bisa disangkal bergosip tetap merupakan sesuatu yang negatif.

 

Dalam masa-masa “tahun politik” sekarang ini aktivitas pergosipan dan penebaran desas-desus konon meningkat. Aktivitas ini makin canggih karena dunia IT amat membantu sehingga upaya untuk “menghabisi lawan politik” lebih sempurna perwujudannya. Para ahli desain kreatif, pembuat meme, penyusun kisah fiksi dikerahkan sehingga seorang calon/paslon bisa saja akhirnya tergusur dari hati nurani konstituen akibat kecanggihan dari senjata digital yang canggih itu. Apalagi jika dalam black campaign yang menyerang paslon diinsert aspek agama, etnik, moral yang biasanya menjadi amunisi andal dalam menghabisi karakter paslon.

 

Sebagai bangsa yang beragama kita mesti menghindarkan diri dari praktik gosip, rumor, desas-desus yang mendiskreditkan orang lain. Kita mendorong masysrakat, penyelenggara pilkada dan semua pihak untuk menaati ketentuan perundangan dalam penetapan paslon dan dalam praktik pemilihannya nanti. Pembunuhan karakter paslon dengan cara menebar gosip dan rumor bukan saja mencederai prinsip-prinsip demokrasi tetapi juga bertentangan secara diametral dengan nilai-nilai agama. Pepatah yang dikutip dibagian awal tulisan ini menyatakan “menebar desas-desus menuai badai”. Desas-desus tak pantas dan tak elok ditebar dalam sebuah masyarakat religius model Indonesia. Menebarkan desas-desus berujung pada badai yang sulit untuk berlalu. Yang wajib ditebar adalah Kedamaian, Cinta Kasih, Sikap Menghargai Kebhinnekaan, Kerukunan, Penguatan Persaudaraan Sejati dan Pemantapan Tali Silaturahim. Gosip, Rumor, Desas-desus bukan bagian dari gaya hidup bangsa yang berkeadaban.

 

Selamat berjuang. God bless.

 

*Weinata Sairin.*

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here