TUGAS GEREJA DALAM TRANSFORMASI PELAYANAN DIAKONIA
Oleh : Amistan Purba
1. Substansi Diakonia
Secara adjective kata “diakonia” berarti memberi pertolongan atau pelayanan. Kata diakonia berasal dari kata Yunani, “diakonein” (melayani), diakonia (pelayanan), diakonos (pelayan), diakones (diaken perempuan). Diakonein (melayani), umumnya diartikan sebagai pekerjaan melayani meja makan, melayani para tamu. Di dunia Yunani, diakonein dipandang pekerjaan yang rendah, pekerjaan seorang budak.
Pada mulanya semua pelayan jemaat disebut Diakonos. Kemudian muncullah kata Diaken yang banyak dipakai gereja untuk menyebut sekelompok pelayan yang mempunyai tugas melayani dan memperhatikan kehidupan jemaat yang dalam kesusahan terutama janda dan yatim piatu. Dengan adanya pelayanan para diaken ini, terlihat keindahan persekutuan diantara jemaat mula-mula. Disini terlihat bahwa antara pemberitaan firman, pelayanan diakonia, dan persekutuan tidak terpisahkan. Dalam jemaat mula-mula pelayanan diakonia yang dilakukan para Diaken banyak ditujukan kepada janda-janda. Seiring perjalanan waktu, pemahaman terhadap makna diakonia semakin berkembang. Saat ini diakonia dapat diberikan kepada janda-janda, orang-orang miskin, orang-orang sakit, orang-orang yang terkena musibah, juga orang-orang yang ada di dalam penjara. Diakonia bukan hanya merupakan tugas para Diaken, tetapi juga merupakan tugas seluruh warga.
Pelayanan diakonia tidak tertutup hanya bagi warga jemaat tetapi juga bagi sesama manusia dimana gereja hadir untuk berperan serta dalam permasalahan yang dihadapi masyarakat. Dalam konteks budaya Yunani dan Romawi di Jemaat mula-mula, yang berkuasa adalah raja dan kaisar. Moralitas Yunani mewajibkan untuk memberi perhatian kepada sesama yaitu kepada orang tua, orang jompo, orang asing, juga orang yang mengalami ketidakadilan.
Diakonia bukan sekedar persoalan memberi, tetapi lebih merupakan panggilan untuk berbagi solidaritas dengan mereka yang membutuhkan pertolongan. Lebih melibatkan diri pada penderitaan orang dan diperlukan kesedian diri untuk berkorban. Diakonia bukan sekedar pelayanan untuk menciptakan hubungan pemberi dan penerima saja, melainkan diakonia dilakukan dalam rangka Misio Dei yaitu menghadirkan pemerintahan Allah di dunia.
Diakonia merupakan salah satu dari tritugas panggilan Gereja yang harus dijalankan dalam rangka mewujudkan kerajaan Allah di dunia ini. Gereja bisa hidup tanpa bangunan, tetapi gereja tidak bisa hidup tanpa diakonia. Hal ini mengidentifikasikan bahwa Diakonia sangatlah penting dalam kehidupan ber-Gereja.
Usia panggilan diakonia setua dengan gerakan Yesus yang lahir di Betlehem (Tepi Barat, Palestina) lebih dari dua ribu tahun lalu. Gerakan Yesus tidak bisa dipisahkan dari gerakan solidaritas terhadap orang miskin, tertindas, kurang mampu/tak berdaya. Solidaritas itu diwujudnyatakan oleh Gereja melalui diakonia Gereja. Tanpa diakonia dan perhatian pada orang miskin, tertindas, ketidakadilan, terpinggirkan, kurang mampu/tak berdaya sebuah Gereja tidak bisa disebut sebagai tubuh Kristus. Tanpa diakonia, Pekabaran injil oleh gereja menjadi semu. Ada hubungan erat antara diakonia dan misi; tanpa diakonia, maka misi tidak mempunyai perspektif. Ia tidak memiliki pengharapan eskatologis atas kedatangan kerajaan Allah.
2. Konstruksi Diakonia Gereja
1). Diakonia Karitatif
Karitatif berasal dari kata charity (Inggris) yang berarti belas kasihan. Dikaonia ini merupakan bentuk diakonia yang paling tua yang dipraktekkan oleh gereja dan pekerja sosial. Diwujudkan dalam bentuk pemberian makanan, pakaian untuk orang miskin, menghibur orang sakit dan perbuatan amal kebajikan lainnya. Model ini mendapat dukungan gereja, karena memberi manfaat yang dapat terlihat langsung, tidak ada resiko, sebab akan didukung oleh penguasa, memberikan penampilan yang baik terhadap si pemberi, memusatkan perhatian pada hubungan pribadi, misalnya merespon beasiswa/bantuan uang untuk anak, menciptakan hubungan ketergantungan.
Diakonia Karitatif merupakan produk dan perkembangan dari industrialisasi di Eropa dan Amerika Utara (abad ke-19), disebarkan oleh misi dan zending selama masa penjajahan dan didukung oleh pemerintah penjajah namun sangat dikecam oleh golongan nasionalis dan kelompok agama lainnya di negeri jajahan. Diakonia karitatif cenderung mempertahankan status quo, ideologi, dan teologinya, karena kemiskinan tidak terhindarkan, karena situasi dan ketidakmampuan yang bersangkutan, percaya bahwa melalui kerja keras seseorang dapat memperbaiki kesejahteraannya, bukan perubahan sosial, mendesak perlunya tanggung jawab moral dari yang kaya untuk melakukan amal demi mengurangi kemiskinan.
Pendekatan diakonia karitatif sebagai warisan zaman kolonial mendapat kritik tajam dari orang di luar Gereja dan kalangan oikumenis. Bagi kalangan di luar Gereja, diakonia karitatif sering dikecam karena dituduh sebagai alat untuk menarik seseorang untuk masuk kedalam Gereja. Sebaliknya, bagi kelompok oikumenis diakonia ini dikecam karena diakonia karitatif menghasilkan ketergantungan dan tidak ada perubahan apapun/kondisi yang tetap.
Bentuk diakonia karitatif yang sering dilakukan oleh Gereja adalah mengunjungi orang dalam penjara dengan membawa makanan dan memimpin renungan, menyediakan beras untuk membantu keluarga miskin, serta mendirikan poliklinik gratis atau murah untuk orang miskin. Walaupun diakonia karitatif digambarkan dengan memberikan ikan dan roti kepada yang lapar tanpa memberdayakan mereka, diakonia karitatif tetap masih diperlukan terutama dalam keadaan darurat seperti musibah, bencana alam, dll. Tidak dapat disangkal bahwa diakonia karitatif memiliki kelemahan. Tetapi di dalam kehidupan sehari-hari, diakonia karitatif tidak dapat dihindari. Dalam kehidupan gereja, diakonia karitatif masih tetap dibutuhkan oleh gereja khususnya dalam situasi darurat.
2). Diakonia Reformatif
Kata reformatif berasal dari kata Inggris yaitu Reform (membentuk ulang atau membaharui). Dalam hal ini Diakonia berkaitan dengan usaha membentuk kembali/membaharui, atau memperbaiki situasi hidup dari kelompok yang hendak ditolong sehingga ia bukan sekedar mendapat makanan tetapi lebih dari itu ia bisa mandiri dalam mengusahakan kebutuhan hidupnya.
Latar belakang diakonia reformatif di mulai dalam mengurangi ketegangan Perang Dingin antara Blok Timur dan Barat, anggota PBB sepakat atas perlunya memberikan perhatian pembangunan di negara-negara yang baru merdeka. Dengan pembangunan, kemiskinan dan kelaparan di dunia diharapkan dapat diatasi melalui pertumbuhan ekonomi. Ideologi pembangunan merupakan ideologi yang muncul di tengah Perang Dingin ketika terjadi persaingan antara kapitalisme dan komunisme. Ideologi pembangunan dapat dianggap sebagai ideologi untuk menghindari semangat revolusi melawan kapitalisme dan kolonialisme di negara yang sedang berkembang. Ideologi pembangunan ditawarkan sebagai ideologi alternatif
untuk mengurangi kemiskinan di Dunia Ketiga.
Setelah berjalan kurang lebih dua dekade, pembangunan tidak menghasilkan kesejahtraan dan keadilan, tetapi justru yang sebaliknya yang terjadi. Jurang pemisah antara kaya dan miskin dirasakan di kota dan di desa. Pembangunan sering diartikan sebagai modernisasi dan westernisasi, di mana kesempatan kerja bagi rakyat kecil semakin sempit. Hasil pembangunan selama dua dekade justru menghilangkan kesempatan pekerja tradisional. Dalam suasana pembangunan inilah Gereja-Gereja ikut berpartisipasi dalam pembangunan.
Pembangunan yang terjadi selama lebih dari dua dekade tidak menghasilkan kesejahteraan dan keadilan, melainkan permusuhan, kemiskinan dan ketidakadilan. Pembangunan telah menjadi suatu ideologi untuk menekan hak asasi dan martabat manusia pada saat itu. Demi pembangunan harus ada stabilitas. Demi stabilitas segala bentuk kritik sosial harus ditiadakan. Demi pembangunan tanah petani harus dikorbankan untuk proyek industri dan perumahan mewah. Demi pembangunan dan stabilitas tuntutan gaji dan pemogokan harus ditiadakan. Demi stabilitas, perlu tiadakan hukum darurat militer dan penahanan tanpa proses pengadilan melalui undang-undang keamanan dalam negeri.
Diakonia reformatif yang lebih dikenal sebagai diakonia pembangunan muncul dalam era pembangunan. Kesadaran baru dari gereja-gereja untuk melakukan diakonia reformatif muncul seiring dengan kesadaran untuk berpartisipasi dalam pembangunan yaitu pada saat Sidang Raya Dewan Gereja se-Dunia (DGD) IV di Upsalla, Swedia pada tahun 1967. Sidang Raya Upsalla mendesak agar negara-negara kaya di Utara bersedia memberikan bantuan ekonomi dan teknologi bagi negara-negara miskin di Selatan.
Diakonia reformatif ini lebih menekankan pada aspek pembangunan, pendekatan yang dilakukan adalah dengan community development, seperti pembangunan pusat kesehatan, penyuluhan, bimas, dan koperasi. Karakteristik diakonia ini dapat dilihat sebagai berikut, pertama, lebih berorientasi pada pembangunan lembaga-lembaga formal, tanpa perombakan struktur dan sistem yang ada; kedua, sudah menggunakan analisis-kultural, namun tidak menggunakan analisis-struktural; dan yang ketiga, pendekatan pelayanan ini masih bersifat topdown, dalam model ini masyarakat belum sepenuhnya menjadi pelaku sejarah yang menentukan masa depanya sendiri.
Diakonia karitatif sering digambarkan sebagai tindakan belas kasihan pada orang yang lapar dengan memberi sepotong ikan, sedangkan diakonia reformatif sering digambarkan menolong orang lapar dengan memberi alat pancing dan mengajar memancing.
Seiring dengan perkembangan teologi dan ideologi pembangunan, diakonia gereja bergeser dari diakonia karitatif menjadi diakonia reformatif/pembangunan. Diakonia tidak lagi sekedar memberikan bantuan pangan dan pakaian tetapi mulai memberikan perhatian pada penyelenggaraan kursus keterampilan, pemberian atau pinjaman modal pada kelompok masyarakat.
3). Diakonia Transformatif
Kalau diakonia karitatif digambarkan sebagai pelayanan memberikan ikan pada orang yang lapar, sedangkan diakonia reformatif adalah pelayanan memberikan pancing dan mengajarkan memancing, maka diakonia transformatif (pembebasan) digambarkan sebagai pelayanan mencelikkan mata yang buta dan memampukan kaki seseorang untuk kuat berjalan. Pemberian pancing dan ketrampilan memancing tidaklah berguna bila sungai-sungai dan laut sudah dimonopoli oleh orang-orang yang zalim. Rakyat kecil yang buta hukum serta mengalami kelumpuhan semangat berjuang, perlu dilayani, yaitu dengan menyadarkan hak-hak mereka. Mereka juga butuh dorongan dan semangat untuk percaya pada diri sendiri.
Bahkan kenyataannya dibeberapa negara, pembangunan yang menekankan pertumbuhan ekonomi hanya menciptakan kemiskinan baru dan memperluas gap antara kelompok orang kaya dan yang miskin, bahkan merusak lingkungan ekologis bumi, untuk kebutuhan jangka panjang muncul sebagai alternatif ketiga menjawab permasalahan kemiskinan dan ketidakadilan struktural yang muncul di permukaan.
Sejarah lahirnya diakonia transformatif dipelopori oleh Gereja Amerika Latin, mencari jawaban atas kemiskinan yang sangat parah di sana. Asumsi yang mendasari pelayanan ini adalah kalau ada orang lapar, tidak cukup diberi roti, sebab besok ia akan datang kembali untuk meminta roti (menghapus mental ketergantungan); juga tidak cukup, hanya diberi pancing atau pacul, karena masalahnya terletak pada pertanyaan, di mana mereka dapat menggali dan mengolah tanah? Bila tanah dan laut dikuasai kaum pemilik modal yang mempunyai kapital? Karena itu berilah dia hak hidup melalui pendampingan dan pemberdayaan bagi mereka. Pendekatan yang dialukan adalah pola dengan pendekatan pengorganisasian komunitas untuk dapat merancang dan merencanakan hidup mereka sendiri. Peran gereja selama ini dalam mentransformasikan dunia dirasakan belum optimal.
Selanjutnya teolog pembebasan merumuskan ekklesiologi kontemporer (ilmu tentang Gereja) dan merefleksikan Gereja secara kontekstual. Tokoh yang berperan di antaranya adalah Gustavo Gutiereez dengan pendekatan ortopraksis. Digunakannya analisis sosial budaya masyarakat, analisis perencanaan partisipatif dan melakukan afiliasi dengan institusi sosial yang ada, dan melakukan monitoring serta evaluasi partisipatif. Diakonia transformatif bukan mau menciptakan kontradiksi bagi pemerintahan dan penguasa, tetapi menjadikan kelompok yang diberdayakan sebagai mitra dalam membangun kualitas kehidupan yang lebih baik.
Pengalaman Gereja di Amerika Latin mulai meredifinisi kembali peran Gereja dan tugasnya di dunia ini. Gereja tidak lagi diartikan sebagai Gedung yang statis, melainkan sebagai suatu gerakan yang terbuka bagi pembaharuan dan aktif menjalankan visi misi kerajaan Allah. Karena itu Gereja tidak harus menjadi besar dan megah fisiknya, melainkan nilai Injil Kerajaan Allah harus hadir dan berakar dalam seluruh fundamen kehidupan manusia.
3. Tugas Gereja Dalam Transformasi Pelayanan Diakonia
Diakonia saat ini berusaha mengaktifkan jemaat untuk bisa menjadi jemaat yang diakonal, artinya gereja yang sungguh-sungguh ikut serta mewujudkan panggilan-nya sebagai gereja yang melayani. Tanpa diakonia, gereja tidak mempunyai makna. Kasih Kristus menjadi fondasi dari pelayanan diakonia, sebagaimana kasih Kristus yang melampaui segala batas maka pelayanan diakonia juga tidak mengenal perbedaan suku, agama, ras, etnis, dan sebagainya.
Diakonia sekarang lebih diinterpretasikan sebagai suatu ungkapan sederhana dengan cinta kasih dan uluran tangan kepada sesama, bukan hanya sekedar sebuah pekerjaan sumbangan biasa. Diakonia adalah membantu orang yang mengalami kesulitan dalam hidup bermasyarakat. Diakonia yang merupakan pelayanan terhadap orang miskin dan membutuhkan pertolongan, tidak terlepas dari pelayanan firman, keduanya tidak dapat dipisahkan.
Pelayanan diakonia dan pelayanan firman simetris esensialnya, keduanya saling melengkapi dan saling menjelaskan. Tanpa pelayanan diakonia, pemberitaan firman sia-sia saja, ekspresi ceramah senyap. Sebaliknya tanpa pemberitaan firman pelayanan diakonia tidak mempunyai landasan hidup dan hanya merupakan pekerjaan bantuan biasa. Gereja berfungsi sebagai “garam dunia” jika pemberitaan firman dan pelayanan diakonianya saling berkorelasi kuat.
Diakonia dikenal juga sebagai pelayanan kasih. Disini pengikut kristus harus memiliki respons hidup melayani sebagaimana yang Yesus teladankan sebagai seorang pelayan. Diaken sebagai pelaksana diakonia harus meneladani Yesus dengan mempersembahkan dirinya untuk melayani orang lain.
Pelayanan diakonia yang dikenal sebagai pelayanan kasih adalah pelayanan kasih dari Allah kepada manusia yang menderita, Allah yang memberi bukan gereja yang memberi. Gereja hanyalah sebagai alat untuk mengekspresikan pemberian Allah kepada manusia yang membutuhkan. Pelayanan diakonia bisa diawali dari “keluarga Allah“ yaitu anggota jemaat dalam persekutuan tubuh Kristus, kemudian dari anggota jemaat makin bertumbuh dan menyebar keluar, pelayanan mencakup masyarakat luas.
Diakonia harus menempati tempat yang sentral sebagai suatu misi dalam kehidupan gereja. Dalam gereja orang-orang miskin dan membutuhkan pertolongan selalu akan ada, untuk itu perlu diatur dengan baik sehingga pelayanan doa, pemberitaan Firman dan pelayanan diakonia dapat berjalan secara proporsional. Istilah diakonia yang dahulu di dunia Yunani dipandang rendah, saat ini dalam kehidupan kristen menjadi salah satu istilah yang dihormati. Diakonia merupakan salah satu dari Tri Tugas Panggilan gereja yang harus dijalankan untuk memanifestasikan kerajaan Allah di dunia.
Diakonia merupakan reaksi kasih yang dilakukan gereja untuk menolong sesama yang membutuhkan. Perbuatan kasih yang dilakukan sebagai konstruksi nyata pemberitaan firman, karena pemberitaan firman tanpa disertai perbuatan kasih tidak ada artinya.
Penulis :
Amistan Purba, S.Si (Teol.), SE, MM.
Dosen Agama Kristen STIE Dharma Bumiputera, Jakarta.