Pdt. Weinata Sairin: Belajar Menghargai Masa Lalu, Merenda Masa Depan Berpengharapan

0
594

“Not to fix blame for the past but to fix the course for the future”(John F. Kennedy)

 

Ada banyak orang yang masih hidup dalam keterpenjaraan masa lalu, dalam genggaman zaman baheula. Masa lalu itu dihubungkan dengan “siapa” yang memerintah, kesuksesannya di bidang ekonomi dan keamanan. Pada saat kita masih kecil, tahun 50an, kita acap mendengar orang-orang tua berkata : “zaman *normal* dulu hidup lebih enak”. Apa yang dimaksud “zaman normal”? Ya zaman normal difahami sebagai zaman pada waktu bangsa kita masih dijajah. Ungkapan itu sama sekali tidak enak,  a historis, a politik bahkan bisa dikategorikan sebagai pelecehan terhadap kemerdekaan bangsa. Itulah kondisi real manusia, selalu cenderung ditawan oleh masa lalu mereka. Pemikiran atau “penyakit tertawan masa lalu” bukan hanya monopoli orang-orang yang kita temui di zaman tahun 50-an saja. Bahkan di era digital sekarang, di zaman “now”, di era milenial, atau apapun namanya, terkadang orang masih hidup dalam romantisme masa lalu.

 

Simak ungkapan ini : “dulu di zaman bapak itu, jarum jatuh ditengah jalan pun para intel sudah tahu. “Rasa kecewa dengan pembandingan yang agak sarkastis itu terjadi karena para teroris perakit bom yang mengontrak di pemukiman penduduk berbulan-bulan tidak bisa dideteksi oleh aparat keamanan hingga akhirnya bom itu mengguncang Kampung Melayu di Jakarta Timur. Kejadian seperti itu hampir selalu berulang beberapa kali, ketika para perakit bom amat piawai “berakting” sebagai orang baik ditengah perkampungan penduduk tanpa bisa “terendus” oleh para petugas.

 

Acapkali ada orang yang “mengukur” masa kini itu dengan masa lampau, atau juga sebaliknya. Hal itu yang sering menjadi persoalan karena masa kini atau masa lampau memiliki konteks sejarahnya sendiri-sendiri yang memberi pengaruh kuat terhadap kedirian seseorang. Kita harus dengan lapang dada mengalami dan menerima perubahan pada masa kini sesuai dengan perkembangan yang terjadi, sepanjang nilai dasar, visi aslinya tidak mengalami perubahan.

 

Memang tidak mudah untuk bersikap lapang dada terhadap pembaruan yang terjadi dalam organisasi yang kita pimpin di zaman dulu apalagi jika pembaruan itu tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan “legitim” dan hanya ikut arus saja, tanpa argumentasi yang kuat.

 

Kisah-kisah tentang orang-orang yang lapang dada dalam menghadapi realitas hidup cukup menarik untuk dibaca kembali. Brahms tidak pernah mengunci pintu kamarnya hingga pada suatu hari jam tangan emasnya dicuri orang. Pada saat polisi datang dan mendesaknya untuk melaporkan masalah ini secara resmi ia dengan enteng menjawab : “Biarkan aku dalam kedamaian. Jam tangan itu mungkin dibawa kabur oleh orang miskin yang jahat yang mungkin lebih membutuhkannya dibanding aku”

 

Ada juga cerita tentang Boswell. Ia adalah penulis biografi Dr Johnson yang amat tekun. Ia pernah dihina seorang temannya. Ia kemudian menyampaikan peristiwa itu kepada Dr Johnson. Dokter itu memberi nasihat : “Pertimbangkanlah hal ini. Hal itu tidak berarti, sebab hanya akan terlihat 11 bulan kedepan. Boswell menuruti nasihat baik itu. Kemudian ia berlata : “Bila pertimbangan itu disesuaikan dan dipraktekkan dalam berbagai bidang kehidupan yang ketenangan kita banyak terganggu hal ini akan mencegah terjadinya banyak perasaan menyakitkan. Aku sering mencobanya dan hasilnya selalu baik.

 

Sikap lapang dada dalam menghadapi persoalan hidup amat perlu. Lapang dada artinya besar hati, tulus, menerima realitas itu apa adanya, tidak complain dan menimba pelajaran dari setiap peristiwa.

 

Sikap seperti itu adalah salah satu bentuk melatih kesabaran dan melaluinya seseorang makin matang, “mature” dalam menghidupi kehidupan.

 

Sebagai umat beragama kita semua dituntun oleh ajaran agama kita masing-masing bagaimana “memperlakukan masa lalu” dan “memposisikan masa kini dan masa depan”. Kita mesti memberlakukan yang benar; baik, standar dan taat hukum di setiap kurun waktu. Sesuatu yang baik, benar, bermoral, berkeadaban dikurun waktu yang lampau perlu disinambungkan dimasa kini dan di masa depan. Sesuatu produk masa lalu tidak semua *buruk*, yang baik kita akan teruskan. Kelemahan pemimpin masa lalu tak boleh diulangi lagi, tetapi teladannya yang baik harus diteruskan.

 

Ucapan John Kennedy bagus menjadi pengingat kita, jangan menghujat masa lalu tetapi rumuskan tindakan yang tepat untuk memenangkan masa depan. Jangan juga menilai atau menghakimi masa lalu dengan ukuran masa kini. Kita bisa belajar banyak dari masa lalu untuk hidup lebih baik di masa depan.

 

Kita tetap mengapresiasi para pendahulu kita yang telah berjuang di masa lalu dengan penuh dedikasi, dengan pengurbanan yang besar. Masa kini hanya bisa ada karena ada masa lalu. Jangan menghakimi masa lalu. Mari berjalan ke masa depan dengan belajar dari masa lalu. Penuhi hidup ini dengan Berdoa, Berfikir dan Bertindak.

 

Selamat berjuang. God bless.

 

*Weinata Sairin*.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here