Pdt. Weinata Sairin: Perlu Pahami Tiap Peristiwa dengan Bijak

0
592

“Men are disturbed not by things but by the view which they take of them” (Epictetus)

 

Banyak orang berkata bahwa hidup di zaman ini tidak terlalu nyaman dan menggairahkan. Bukan hanya ketidaknyamanan yang sifatnya teknis. Misalnya karena proyek pembangunan jalan, maka lalu lintas menjadi sangat “ribet” banyak jalan yang dialihkan atau di buang ke arah yang lain sehingga waktu tempuh bertambah lama. Ketidaknyamanan karena proyek jalan ini amat teknis dan berlangsung tak selamanya. Ada waktunya nanti *jalan* menjadi lebih cepat dan nikmat jika proyek sudah selesai. Ada dimensi-dimensi kehidupan yang secara substanbtif tergerus kenyamanannya dan bahkan melahirkan pengalaman traumatik serta menimbulkan ketakutan yang berkelanjutan. Misalnya seorang rohaniwan Buddha di Tangerang melaksanakan ibadahnya di rumah dan dihadiri warga Buddha lainnya, dan kemudian dilarang dengan cara-cara yang tidak elegan. Rohaniwan Buddha itu *tidak mengubah* rumahnya itu sebagai rumah ibadah (seperti dimaksudkan dalam PBM 2006). Sebagai umat Buddha ia dijamin UU untuk beribadah dirumahnya.

 

Keluarga Kristen setiap minggu mengadakan kebaktian tengah minggu/kebaktian rumah tangga di rumahnya masing-masing dan dihadiri oleh warga gereja dari tempat yang lain. Rumah warga itu tetap sebuah rumah dan *tidak dikonversi* menjadi rumah ibadah. Saudara-saudara Muslim secara rutin mengadakan pengajian dirumahnya, kadang mengundang kaum dhuafa, dan kadang ada ustadz yang menyampaikan tausyiah. Hal seperti itu biasa terjadi di lingkup enam agama yang ada dan bisa juga ada di lingkup Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

 

Pelaksanaan ibadah dirumah rumah warga itu wajib hukumnya dan dilakukan minimal setiap minggu sebagai bagian dari upaya kita bersama sebagai bangsa yang beragama untuk “memperkuat spiritualitas” setiap warga bangsa agar mereka menjadi umat beragama yang kafah, yang sempurna dan tidak inkonsisten. Mestinya kegiatan beragama seperti itu diapresiasi, didukung dan difasilitasi oleh masyarakat dan pemerintah. Kasus ‘persekusi’ yang dialami rohaniwan Buddha itu sejatinya bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRI 1945, penghinaan agama yang melawan hakikat kedirian NKRI sebagai negara yang bangsanya menganut berbagai agama dan Ketuhanan Yang Maha Esa.

 

Pengalaman traumatik yang menimbulkan ketidaknyamanan dalam menjalankan kehidupan beragama di negeri ini adalah juga karena terjadinya peristiwa yang menimpa Romo Karl Edmund Prier(72 th) pada hari Minggu 11 Februari 2018 yang tatkala sedang memimpin misa, ibadah umat Katolik, di Gereja St Lidwina Yogyakarta tiba-tiba diserang dengan pedang oleh seseorang yang tiba-tiba datang dari luar. Ini peristiwa tragis, biadab dan barbar dalam sebuah NKRI yang selalu diperkenalkan sebagai bangsa yang ramah. Ironisnya peristiwa ini terjadi sebelum rangkaian acara Mubes Pemuka Agama Untuk Kerukunan Bangsa ditutup dengan acara World Interfaith Harmony Week di JCC Jakarta 11 Februari 2018 pk 9-12.

 

Kita hidup dalam dunia yang penuh dengan beragam peristiwa yang hadir, mengalir bahkan kadang mempengaruhi pikiran kita. Kita bisa saja terpenjara oleh peristiwa-peristiwa itu, kita tersandera dan tak mampu bergerak. Kita tidak saja melihat, menghadapi dan menghidupi peristiwa itu tapi kita sekaligus membaca tafsir, komentar bahkan kadang-kadang nubuatan berdasarkan peristiwa yang terjadi.

 

Kita masih harus terus belajar tentang keluhuran ajaran agama kita dan praksisnya dalam hidup, belajar tentang local wisdom, tentang Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, tentang integritas dan bukan inkonsistensi, tentang menghormati orang yang sedang beribadah, tentang menghormati mereka yang “bukan kita” atau “bukan aku”. Soal moral, kesantunan, etika hidup bersama, pengunaan *kata* , *diksi* menjadi kebutuhan mendasar.

 

Kesantunan bisa diteladankan oleh siapa saja dan bukan hanya tentang hal besar dan makro. Ini cerita tentang Presiden Lincoln. Pada suatu siang tatkala Presiden Lincoln sedang berkeliling dengan kudanya ia bertemu dengan seorang Negro tua yang membungkuk dan mengangkat topinya saat berpapasan. Presiden Lincoln juga melakukan hal yang sama. Seorang teman Lincoln yang memperhatikan apa yang dilakukan oleh sang Presiden bertanya: “Mengapa Anda mengangkat topi kepada orang itu?” “Aku lakukan hal itu karena aku tidak ingin ada yang lebih sopan dari diriku” jawab Lincoln.

 

Kesantunan, sikap *humble* harus menjadi bagian dari kedirian kita dan harus diekspresikan dalam kehidupan kita sehari-hari. Itulah salah satu ciri manusia Indonesia yang beragama, berketuhanan Yang Maha Esa, ber Pancasila, ber Bhinneka Tunggal Ika, ber UUD NRI 1945.

 

Ada kisah tentang Cesar Frank. Ia jarang menampakkan dirinya ketengah publik. Namun untuk menyertai pertunjukan perdana simfoninya ia duduk di *loft* yaitu serambi yang tinggi dalam gedung pertunjukan orkestra. Para penonton yang tidak suka pada karyanya memberikan penghargaan yang layak. Salah satunya adalah seorang ibu yang duduk dibelakang sang komposer. Ia berkata dengan suara nyaring pada saat jeda :”Siapa orang yang mencipta musik “jelek” seperti ini ?” Cesar Frank yang terkenal baik dan humble berbalik ke belakang tempat duduknya dan menjawab ibu itu dengan amat santun : “saya yang mencipta, nyonya!”

 

Kita hidup ditengah peristiwa besar atau kecil, kita juga menjadi pelaku dari peristiwa itu, kita bisa juga mengeritik peristiwa itu secara sadar dan argumentatif. Sebagai umat beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kita tahu persis bagaimana peran yang mesti kita lakukan dalam setiap peristiwa. Kita harus berupaya melakukan yang terbaik, yang bermakna bagi orang banyak dan tidak untuk kepentingan pribadi dan atau golongan.

 

Kita tahu bahwa minimal ada empat isu penting yang dihadapi bangsa besar ini : NARKOBA, KORUPSI, INTOLERANSI, ETIK-MORAL. Setiap hari keempat isu besar itu hadir dalam gadget dan layar kaca di ruang-ruang sejarah kita. Baik juga kita garisbawahi kata-kata Epictetus bahwa kita acap terganggu bukan pertama-pertama pada peristiwa yang singgah dalam hidup kita, tetapi terlebih pada pandangan orang atas peistiwa itu. Pandangan dan tafsir apokaliptik terhadap sebuah peristiwa yang kadang membuat gaduh dan bisa memporakporandakan bangunan kesatuan kita sebagai bangsa. Kita harus selalu sadar, eling dan memohon petunjuk Tuhan Yang Maha Esa.

 

Selamat berjuang. God bless.

 

*Weinata Sairin*

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here