Pdt. Weinata Sairin: “Berelasi: Memberi Tiada Henti”

0
584

“If you can’t feed a hundred people then feed just one”. (Bunda Theresa)

 

Hidup manusia sejatinya adalah hidup dalam relasi bukan hidup dalam kesendirian, menafikan relasi. Penciptaan perempuan bernama Hawa sesudah Adam diciptakan adalah tanda yang kuat bahwa aspek relasional menjadi titik perhatian Allah. Walau memang penciptaan perempuan sesudah penciptaan laki-laki itu memiliki perspektif relasional yang jauh lebih dalam ketimbang sebuah relasi biasa, relasi yang standar. Relasi laki-laki dan perempuan kemudian mengalami tahap yang sakral tatkala relasi itu diinstitusionalisasi dalam sebuah lembaga yang bernama “perkawinan”. Dalam lembaga itulah kedua insan manusia berbeda gender mempraktikkan dan mengembangkan sebuah relasi yang spesifik dan bermutu yang bisa menjadi referensi bagi sosok manusia lainnya. Relasi spesifik, yang acap  disebut ‘hubungan intim’ suami dan istri, adalah peristiwa mengenal lebih dalam antar dua insan berbeda jenis.

 

Dalam relasi itu aspek *mengenal* menjadi sangat penting. Relasi yang kontinyu dan dengan durasi yang lama melahirkan kualitas mengenal yang amat dalam. Kata “yada” dalam bahasa Ibrani digunakan dalam arti *mengenal* dan juga *hubungan intim suami istri*. Dengan demikian dalam relasi suami istri *mengenal* itu amat penting.

 

Ketidakmampuan kita untuk mengenal dengan baik antara lain karena sikap, ucapan dan atau perbuatan kita. Kesibukan atau virus “workaholik” seringkali juga tanpa sadar mengganggu proses pengenalan kita, bahkan di dalam rumah tangga kita sendiri. Ada kisah masa lalu yang mengungkap aspek itu. Alice James istri William James menceritakan bahwa setiap pagi suaminya selalu mengeluh. “Apakah kita tidak pernah punya waktu untuk berduaan saja? Haruskah kita mengobrol dengan orang-orang setiap malam?” Istrinya menjawab : “Aku tahu caranya. Siapapun yang mengajakmu malam ini akan kuberitahukan padanya bahwa aku melarangmu untuk menemuinya”. Dengan cara ini mereka bisa menikmati malam dengan penuh kedamaian. Tiba-tiba bel pintu berdering. Untuk memastikan rencananya berjalan istri William pergi ke pintu. Tetapi William membuntutinya dari belakang sambil berkata: “Silakan, silakan masuk!”

 

William James berada pada posisi dilematis sebagai seorang suami dan pekerja keras. Pada satu sisi ia rindu hadirnya saat-saat romantis tatkala keberduaan bisa mewujud, pada sisi lain ia punya komitmen kuat untuk melayani clien dengan optimal dan prima. Dan pada saat sang clien mengetuk pintu ia tidak mampu lagi mengatakan tidak. Mengembang-mantapkan relasi memang membutuhkan pengurbanan, bukan hanya soal pilihan.

 

Keberduaan, kesalingan, kebersamaan, kepedulian, empati adalah beberapa kata kunci penting dalam membangun relasi utamanya dalam lingkup keluarga yang kemudian bisa dikembangkan dalam komunitas yang lebih luas. Suatu hari D.L. Moody mendengar pintu ruang belajarnya diketuk. Moody yang sedang sibuk berteriak dengan nada jengkel : “Apa maumu?” “Aku tidak menginginkan apapun ayah!”. Jawaban itu berasal dari anak laki-lakinya. “Aku hanya ingin bersamamu!” Kata-kata itu menghangatkan hati Moody.

 

Cinta buta kita dengan pekerjaan, hobby acap kali juga bisa menimbulkan distorsi dalam kehidupan keluarga. Kesemuanya memang membutuhkan pengelolaan yang baik dan bijak agar kehidupan terwujud dengan lebih baik, damai dan sejahtera.

 

Manusia menghidupi kehidupan ini dengan mengembangkan relasi. Dalam konteks relasi kita mewujudkan concern, simpati, empati dalam beragam bentuk. Bunda Theresa mengingatkan kita “jika kita tidak dapat memberi (makan) kepada seratus orang, berilah satu orang”. Agaknya konteks pernyataan ini terjadi ketika ada ratusan orang yang akibat musibah bencana alam atau perang yang membutuhkan makanan. Bunda Theresa berpandangan pragmatis, jika tidak bisa bantu 100 orang ya bantulah 1 orang. Yang penting ada niat dan tindakan untuk membantu. Dalam masyarakat kita juga ada banyak orang yang memerlukan bantuan dalam beragam bentuk. Lembaga keagamaan, lembaga sosial dan berbagai organisasi memiliki program rutin dalam membantu masyarakat.

 

Kita semua dalam kapasitas apapun wajib untuk menyatakan simpati, empati dan dukungan nyata bagi mereka yang membutuhkan bantuan, tanpa mempertimbangkan Sara. Manusia yang hidup dalam relasi adalah manusia yang tidak pernah jemu dan lelah untuk membantu mereka yang berada di pinggir-pinggir kehidupan, atau yang tertatih-tatih menjalani kehidupan.

 

Selamat berjuang. God bless.

 

*Weinata Sairin.*

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here