Pdt. Weinata Sairin: Sengsara, Meneguhkan Iman

0
501

 

 

“Bonus animus in mala re dimidium est mali. Berbesar hati dalam kesengsaraan membuat kesengsaraan itu terasa separuh lebih ringan”.

 

Sengsara, “samsara”,  derita hampir dapat dikatakan merupakan bagian integral dari kehidupan manusia. Tokoh dan pemimpin agama pernah menyatakan bahwa “lahir, hidup dan mati adalah penderitaan”. Di zaman baheula tatkala peribahasa masih menjadi bahan dalam pembelajaran, kita ingat peribahasa yang berbunyi “Berakit-rakit kehulu, berenang-renang ketepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”. Itu berarti bahwa sejak zaman lampau nenek moyang kita telah memiliki pemikiran bahwa hidup itu tidak tiba-tiba berada di “puncak”. Titik puncak dalam kehidupan itu mesti dilalui dengan jerih lelah,  pengurbanan, penderitaan, bahkan titik-titik yang paling krusial dalam kehidupan. Bahkan para tokoh pejuang baik di negeri ini maupun diluar negeri mesti mengalami kehidupan di dalam penjara bertahun-tahun baru mengalami keberhasilan.

 

Seiring dengan makin majunya peradaban manusia oleh karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka proses dan tahapan-tahapan dalam mencapai sebuah keberhasilan nyaris tidak lagi berpijak pada patokan-patokan yang standar. Ada banyak orang yang ingin cepat tiba dipuncak tanpa melewati prosedur baku. Dengan kekuasaan jabatan dan atau uang orang bisa saja menafikan prosedur baku yang sudah digunakan berpuluh tahun. Dengan jabatan dan uang semuanya bisa diselesaikan.

 

Ada orang yang meniru gaya “susu”, ia tak mau repot, ia maunya “instant”. Seorang sahabat bercerita sekitar 20 tahun yang lalu, pejabat tinggi di sebuah departemen, ikut dalam program S3, dan pada saat ia harus menyusun disertasi, ia menugaskan staf di kantornya yang memang sudah S3 untuk membuatkan disertasi itu. Ia kemudian dengan bangga menyandang gelar doktor di depan namanya, namun di sepanjang kariernya tidak terekam jejak-jejak pemikiran akademis yang lahir dari dirinya. Seorang penyandang gelar S3 dari proses “instant” akan sangat nampak dalam dunia nyata dan praksis apa karya yang bisa dilakukannya, dibanding mereka yang menyandang doktor sesuai dengan proses-proses standar yang baku. Konon pada periode berikut sesudah kisah 15 tahun yang lalu itu makin banyak saja orang-orang yang bergaya instant, yang melawan prosedur standar untuk mendapatkan sebuah gelar akademis. Mungkin ia tidak kenal dan atau tidak mau tahu tentang peribahasa kuno “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ketepian”

 

Sebenarnya sejak kita kecil orang tua kita selalu menanamkan sikap yang bersedia menderita, tahan uji, tahan banting, tidak cengeng pada saat menghadapi kesulitan dalam hidup. Ia juga selalu berpesan agar kita tidak mengeluh dan putus asa dalam menghadapi kesulitan hidup. Nasihat orang tua adalah agar kita sabar, tekun dan memohon petunjuk kepada Tuhan tatkala kita berhadapan dengan derita dan sengsara.

 

Orang besar seperti Epictetus pernah memberi saran kepada murid-muridnya dalam hal bertindak sabar. Ia berkata sebagai berikut : Bila kau ingin mengobati amarahmu jangan memberinya makan. Katakan pada dirimu sendiri : “Aku pernah marah sepanjang hari; lalu setiap hari; sekarang hanya hari ketiga dan keempat”. Bila kau sudah mencapai hari yang ketiga puluh, berikanlah persembahan sebagai rasa syukur kepada Tuhan. Lain halnya dengan Thomas Hart Benton. Ketika ia diberitahu bahwa rumahnya di Washington terbakar maka ia pergi dari Kongres untuk melihat kondisi riil rumahnya. Sambil menatap puing-puing sisa kebakaran itu ia berkata : “Ini membuat kematianku menjadi lebih mudah. Disana tidak banyak lagi yang tersisa untuk ditinggalkan”.

 

Tatkala kita tengah mengalami derita, sengsara bagaimana dan apapun bentuknya,  kita tak usah “complain”, tak usah mengungkap pertanyaan retorik : ini salah siapa, mengapa terjadi. Tak usah melahirkan kambing hitam, apalagi mempersalahkan Tuhan. Kita mesti melihat derita itu dalam perspektif yang positif, yaitu sebagai medium untuk memperkuat iman kita, untuk memantapkan kepribadian kita, untuk makin mendekatkan diri kita kepada Kuasa Transenden. Kita “nikmàti” derita dan sengsara itu sebagai bagian dari proses pembelajaran kehidupan. Pepatah kita menyatakan bahwa jika kita berbesar hati dalam ksengsaraan maka kesengsaraan itu akan lebih ringan. Derita dan sengsara bisa datang kapan saja menemui kita dan dalam bentuk apapun. Kita harus siap menerimanya dengan besar hati dan kekuatan dari Tuhan. Jangan sampai terjadi derita dan sengsara itu diakibatkan ulah kita : kita korupsi, kita menghujat orang lain, kita berbuat melawan hukum.

 

Selamat berjuang. God bless.

 

*Weinata Sairin*

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here