Pdt. Weinata Sairin: Menghidupi Hidup yang Benar-benar Hidup

0
528

 

 

“Every man dies. Not every man truly lives”.(Braveheart)

 

‘Kehidupan’ dan ‘Kematian’ adalah dua kata yang amat penting dalam sejarah umat manusia. Kedua kata itu bergandeng erat dan terkait erat. Manusia mengukir sejarahnya diantara kedua kata itu. Manusia menorehkan sesuatu baik yang positif maupun yang negatif diantara dua kutub itu. Manusia tak bisa abstain, manusia tak bisa bilang “tak mau ikutan”, manusia tak bisa apatis, masa bodoh dan atau _ignore_. Selalu ada yang ditorehkan oleh manusia disepanjang rentang waktu kehidupannya, apapun wujud dan bentuknya.

 

Dalam menghadapi kehidupan atau kematian ada banyak orang yang mengalami _anxiety_, cemas dan atau stres. Cemas atau stres itu tidak pernah berkaitan dengan kualifikasi akademis, pangkat dan jabatan, eselon, agama, afiliasi politik, tokoh atau the man in the street. Cemas atau stres itu mengguncang siapa saja. Seorang sahabat, ia pemimpin, ia berpendidikan tinggi : setiap kali ia akan melaksanakan tugas selalu dilanda stres. Maka ia saat itu merokok setengah batang lalu ia baru bisa melakukan tugasnya dengan _sedikit_ ada rasa percaya diri.

 

Dari pengalaman empirik cemas atau stres itu ternyata punya dampak yang panjang. Ia bisa alami _tremor_, gugup waktu membaca teks, mata mengandung kunang-kunang sehingga mirip penderita katarak. Bayangkan jika harus membaca SK Pengangkatan atau membaca kisah fiksi Harry Potter ia salah membacanya, tentu bisa menimbulkan kegaduhan yang tak perlu.

 

Bagaimanapun realitasnya, _kehidupan_ dan _kematian_ itu “membutuhkan” agama, kecuali mungkin bagi mereka yang atheis; yang lebih beriman kepada para filsuf, tidak perlu agama. Agama dan keberagamaan adalah sesuatu yang membedakan manusia dari makhluk yang lain. Agama, keberimanan seorang manusia fana kepada Kuasa Transenden, The Ultimate Concern, adalah sesuatu yang khas manusia. Manusia memahami kefanaan dirinya, manusia _eling_, manusia tidak pernah bisa _ada_ dan _berada_ tanpa ada kuasa ilahi yang membuatnya ada, berada dan hidup. Itulah sebabnya manusia tidak bisa tidak mesti percaya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa.

 

Kepercayaan kepada Tuhan adalah sesuatu yang definitif, adequat dan aksiomatis. John Macmaster seorang sejarawan menceritakan anekdot tentang presiden Abraham Lincoln. Pada saat presiden sedang mengadakan resepsi di Gedung Putih, seorang lelaki tua mendatanginya berhenti didepannya dan berkata : “Tuan Lincoln aku berasal dari negara bagian New York tempat kita percaya bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa dan Abraham Lincoln akan menyelamatkan negara ini”. “Sahabatku” kata Lincoln. “Kau setengah benar. Hanya Tuhan yang sanggup melakukannya”.

 

Kehidupan, kematian, kehidupan sesudah kematian berhubungan erat dengan agama, dengan Tuhan. Kita tidak bisa berbicara tentang kehidupan dan kematian, terlepas atau tidak melibatkan agama dan Tuhan. Apalah arti kehidupan dan kematian tanpa pelibatan agama dan Tuhan?

 

Sebagai umat yang beragama/berkepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka penuntun, pedoman kita dalam menempuh kehidupan dan memasuki kematian sudah amat jelas. Apa yang mesti kita lakukan dan apa yang tidak boleh kita lakukan amat centang perenang. Kita memperoleh hal itu dengan membaca kitab suci yang kita posisikan sebagai kitab yang sakral karena memuat firman Tuhan; kita juga mendapatkan pembinaan/pencerahan spiritual dari para tokoh agama melalui kotbah, tausyiah, ceramah agama, pelayanan pastoral/penggembalaan. Acapkali “hasrat sekuler dan hedonis” yang melumuri kedirian kita membuat kita terlena dan tak mampu lagi membuat diferensiasi yang tajam antara apa boleh dan tidak boleh dalam perspektif agama kita.

 

Sangat menarik ungkapan Braveheart bahwa setiap orang akan mati tapi tidak setiap orang benar-benar hidup. Ia menampilkan dan menyandingkan kata *mati* dan kata ‘benar benar hidup’ dalam sebuah kalimat sehingga dimensi paradoksnya amat mengemuka. Kematian adalah sebuah fakta yang akan dijalani setiap orang, lepas orang itu percaya atau tidak kepada Tuhan, lepas orang itu menganggap kitab suci itu fiksi, fiktif, khayal atau sakral-transendental. Namun tidak setiap orang bisa *benar-benar hidup*. Apa makna aktual dari kata _benar-benar_ hidup itu. Apakah dalam kenyataan empirik ada hidup yang tidak benar-benar hidup? Apakah ada hidup yang virtual, maya, artificial dalam realitas historis?

 

Hidup yang benar-benar hidup adalah hidup yang berdasar dan mengacu pada ajaran agama; hidup yang menghargai seluruh ciptaan Allah dan memuliakan Allah; hidup yang memajukan HAM dan melawan pikiran, peraturan, tindakan diskriminatif; hidup yang mengasihi sesama; hidup yang melawan suap, korupsi, kejahatan, penodaan dan politisasi agama; hidup yang meninggalkan dendam, permusuhan, ujaran kebencian; hidup yang mewujudkan perdamaian, kesejahteraan dan keadilan; hidup yang menghadirkan kerukunan, cinta kasih dan syukur kepada Tuhan.

 

Mari mewujudkan hidup yang benar-benar hidup sambil menyongsong kematian.

 

Selamat Berjuang. God Bless.

 

*Weinata Sairin.*

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here