PDT. WEINATA SAIRIN: MEWUJUDKAN HIDUP YANG MENGAKTIVASI PEDULI DAN EMPATI

0
493

 

 

“Ignorance is the night of the mind, but a night without moon and star” (Konfucius)

 

Manusia hidup ditengah dunia bukan kehendak dirinya sendiri, atau ‘pilihan’ berdasarkan interes individual. Manusia menghidupi dunia dengan realitas dinamikanya oleh karena diutus oleh Sang Pencipta untuk mengelola dunia dengan sebaik-baiknya sehingga bermakna bagi kemaslahatan umat manusia. Itulah sebabnya ada banyak predikat yang dikenakan kepada manusia, misalnya yang amat populer dilingkup Islam dan Kristen : manusia sebagai _khalifah Allah dibumi_, manusia sebagai _imago dei_(the image of God). Itulah hakikat manusia yang amat spesifik yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Kehadiran manusia ditengah dunia sebab itu bukan kehadiran yang diam, stagnan, apatis, masa bodoh, presensia yang ‘EGP’, tetapi sebuah presensia yang dinamik, yang berkarya, yang penuh dengan _action_, yang berempati, yang concern yang relasional, yang mengartikulasikan sosok manusia yang _homo socius_.

 

Dari perspektif agama-agama kita sudah amat faham bahwa hakikat manusia itu adalah sebuah realitas dan entitas yang _dualitas_, realitas yang terikat dalam _keduaan_ yang tidak merasa lengkap dalam ketunggalannya. Bahwa dalam sejarah dan melalui perjalanan waktu serta lewat sebuah keputusan eksistensial manusia itu sosok yang tetap tunggal, atau pernah _jamak_ kemudian berubah menjadi _tunggal_, itu adalah soal yang lain dan merupakan sebuah kasus.

 

Sejarah agama-agama memberi makna (teologis) yang amat penting tatkala Sang Pencipta dalam penciptaan manusia tidak berhenti pada sosok Adam, sebagai titik kulminasi ciptaan, tetapi kemudian dilanjutkan dengan menghadirkan seorang _penolong yang sepadan_ dengan Adam, yaitu Hawa. Pemikiran bahwa manusia adalah sosok _dualitas_ mendapatkan legitimasi teologis tatkala Sang Pencipta mengambil salah satu rusuk Adam dan kemudian “dibangunnyalah seorang perempuan lalu dibawanya kepada manusia itu” (Kejadian 2 : 22)

 

Manusia yang homo socius itu, yang mengikat diri dalam dimensi relasional, kemudian mewujud dalam komunitas suku, bangsa, bangsa- bangsa dan kemudian secara modern dengan mengacu pada pemikiran Ernest Renan membentuk komunitas besar yang bernama negara.

 

Negara lah yang kemudian sejalan dengan perkembangan ipteks dan peradaban menjadi ruang dan media bagi umat manusia dalam mengekspresikan kediriannya sesuai dengan talenta dan kompetensi yang Tuhan anugerahkan kepadanya. Dari zaman ke zaman manusia telah memberi kontribusi yang amat besar bagi pemantapan dan pengembangan peradaban. Abad-abad kegelapan dengan vandalisme, barbarisme ditinggalkan manusia, zaman jahiliyah diakhiri, agama-agama dan ilmu pengetahuan memberi pencerahan dan pencerdasan baru bagi umat manusia. Dengan cara itu manusia tampil mengubah dunia dari _nature_ menjadi _culture_ sehingga manusia bisa eksis bahkan memberi kontribusi signifikan bagi dunia.

 

Manusia jatuh bangun dalam menentukan sikapnya terhadap Allah. Sebuah ironi terjadi dalam sejarah manusia, tatkala sosok manusia yang Allah ciptakan, dan ia makin cerdas dalam berilmu justru mempertanyakan bahkan menolak untuk percaya kepada Allah. Atheisme hidup dan ikut disuburkan oleh banyak aliran filsafat sehingga sikap skeptis manusia terhadap yang sakral dan transenden mewujud bahkan berujung pada pemikiran yang atheistis.

 

Menarik sekali ungkapan Konfucius yang dikutip di awal bagian ini. Ia menyatakan bahwa ignoransi adalah sebuah _malam_ pada pikiran kita, sebuah malam tanpa bulan dan bintang. Bagi Konfucius manusia tidak berada dalam posisi yang _ignoran_, tidak mau tahu, tidak peduli, masa bodoh. Realitas seperti itu bisa membuat pikiran kita diserang gelap gulita yang amat hitam dan pekat yang  tidak lagi mampu menyalakan kembali mesin berfikir kita. Jika pikiran kita gelap gulita, tak ada lagi memori tersisa maka tak mungkin lagi bisa menjadi rahim dari ide-ide brilian dan bernas.

 

Secara implisit melalui ungkapan itu Konfucius mendorong kita untuk meninggalkan sikap ignoran, apatis, masa bodo dan mengembangkan sikap peduli, empati, kesediaan mengasihi sesama tanpa pamrih, melawan sikap ghetto, ekklusif dan primordial sehingga kehidupan yang nyaman, harmoni penuh talisilaturahim bisa mewujudnyata.

 

Selamat berjuang. God bless.

 

*Weinata Sairin.*

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here