Oleh: Weinata Sairin
“Tu ne cede malis, sed contra audentior ito. Janganlah menyingkir dari kesukaran, tetapi hadapilah kesukaran itu dengan lebih berani”.
Kesukaran, kesulitan, telah menjadi bagian yang sah dari sebuah kehidupan. Kehidupan manusia tak pernah sepi dari kesulitan, kendala, permasalahan. Setiap orang memaknai kesukaran hidup itu dari beragam perspektif dan angel. Ada yang memahaminya sebagai ‘nasib’ atau ‘takdir’ dan ia menerima saja realitas itu, menjalaninya dengan penuh kesabaran hingga suatu saat nasib berubah. Ada juga yang memahami kesukaran hidup itu sebagai ‘ujian’ yang melaluinya orang seseorang makin matang dan mandiri dalam mengelola kehidupan ini dimasa depan. Ada juga yang memandang bahwa kesukaran yang dialami dalam kehidupan ini sebagai bentuk ‘hukuman’ atas dosa-dosa yang pernah ia perbuat dimasa-masa yang lalu.
Dalam perspektif yang agak ‘teologis’ seperti itu maka sebuah kesukaran bisa menjadi faktor penyebab yang membuat seseorang bertobat dari dosa-dosa yang pernah ia lakukan. Disini kesukaran bisa menjadi semacam “instrumen positif” bagi seseorang sehingga ia tidak terus menerus terjerembab dan terbenam dalam lumuran dosa.
Kesukaran itu sendiri berdasarkan pengalaman empirik terjadi karena dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal misalnya karena kita menderita sakit dalam waktu yang lama ; bisa juga ada masalah keluarga. Atau bisa juga terjadi kita terjerat kasus hukum karena berbagai perbuatan kita, kita melakukan perlawanan terhadap proses peradilan, kita melarikan diri dan akhirnya membuat kita di DPOkan. Dalam sebuah dunia modern yang penuh dengan dinamika pengandaian-pengandaian seperti ini bisa saja mewujud dalam kenyataan.
Kesukaran yang disebabkan faktor eksternal juga cukup banyak. Misalnya terjadinya bencana alam, adanya perubahan politik, adanya perubahan organisasi dan struktur kepemimpinan tempat kita bekerja.
Kesukaran yang disebabkan faktor eksternal lebih rumit karena berada diluar kendali dan kontrol kita. Kita tidak pernah bisa memastikan kapan berakhirnya kesukaran itu, apakah makin mengurang atau bahkan makin membesar.
Mengembangkan sikap yang _berani_ adalah sesuatu hal yang amat penting tatkala kita dihadapkan pada kesukaran dalam bentuk apapun. Sebagai umat beragama yang beriman teguh, kita diajarkan untuk menghadapi setiap kesukaran dan tidak melarikan diri dari kesukaran yang tengah membelit kita.
Kita berdoa kepada Tuhan agar kita dikuatkan dan ditunjukkan jalan agar kita mampu mencari jalan keluar dari lilitan kesukaran yang membelenggu kita. Kita mencoba mengurai dengan lebih rinci apa faktor penyebab kesukaran yang kita hadapi. Selain berdoa, berupaya, berikhtiar, kita juga mesti memperkuat self confident kita agar kita “memenangkan” kesukaran itu. Jangan kita cengeng, inferior dan pasrah kepada nasib dalam berhadapan dengan kesukaran.
Cukup menarik membaca cerita tentang keberanian seorang besar selevel Mahatma Gandhi pada zaman baheula.Di Champaran para buruh sangat menderita karena perlakuan tak adil dan kejam orang kulit putih yang menguasai perkebunan. Gandhi menyelidiki berita yang menimpa buruh, dan hal itu amat diapresiasi kecuali orang kulit putih yang tak senang. Gandhi dilapori seseorang bahwa pemilik perkebunan di wilayah itu adalah orang paling kejam dibanding yang lain. Bahkan ia akan membunuh Gandhi lewat pembunuh bayaran. Gandhi tak takut sedikitpun. Suatu malam ia pergi ke bungalow tempat pemilik perkebunan itu dan berkata : “Aku dengar kau telah menyewa pembunuh bayaran
untuk membunuhku. Kini aku datang sendiri kerumahmu!” Mendengar keberanian Gandhi itu sang pemilik perkebunan yang kejam itu jatuh pingsan.
Sang Pemilik Perkebunan tidak menyangka seorang Asia seperti Gandhi memiliki keberanian seperti itu. Ia amat kaget dan sebab itu ia jatuh pingsan. Kita tak boleh lari dan menyingkir dari kesukaran. Kita mesti hadapi setiap kesukaran dengan gagah berani. Manusia bukanlah manusia jika ia lari dari tanggungjawabnya. Manusia adalah *makhluk yang ditanggungi jawab*. Oleh karena itu ia harus mau menanggung dan menjawab. Manusia sebagai makhluk mulia harus bersikap profesional, berbicara atas dasar bukti bukan fiksi, agitasi dan fitnah. Setiap kata, pemikiran yang disampaikan kepublik harus dipertanggungjawabkan, jangan asal bunyi dan omong doang, tidak provokatif dan menyebar hoax.
Mari di tahun politik ini kita buktikan bahwa sebagai bangsa yang beragama, kita tampilkan moral, etik dan spiritual yang bersumber dari agama.
Selamat berjuang.
God bless.