PDT. WEINATA SAIRIN: BERSUKACITA, MENJALANKAN TITAH ALLAH

0
514

 

 

“Jubilate Deo, omnis terra. Seluruh dunia, bersukacitalah kepada Allah”.

 

Hidup manusia selalu berada pada dua sisi, pada “dualitas”, sukacita dan atau dukacita. Dimensi yang ganda, aspek rangkap seperti itu memang telah menjadi bagian integral dari sejarah manusia. Dalam praktik bisa saja kedua aspek itu terjadi serentak, bersamaan, bisa juga terjadi secara berurutan. Respons dan reaksi setiap orang terhadap dua aspek itu amat beragam. Bagi seseorang yang kuat iman dan tabah serta mandiri dalam menghadapi masalah maka ia nampak lebih tenang. Ia fahami hal itu sebagai bagian dari pembelajaran hidup, bahkan secara teologis difahami sebagai “ujian iman”. Artinya apakah dengan permasalahan yang ia hadapi itu, imannya konstant, tidak guncang, atau tidak lemah imannya sehingga ia marah atau complain kepada Tuhan. Bagi orang-orang yang lemah iman, tipe yang tergantung, tipe “anak mamah”, tipe yang pesimistis maka masalah yang mendera itu dianggap beban baru yang membuka ruang amat luas baginya untuk “menggugat” Tuhan. Ia bahkan bisa mengungkit-ungkit kontribusinya bagi komunitas keagamaan, baik dana mapun benda-benda yang dibutuhkan komunitas. Tipe seperti ini kemudian bisa tidak aktif lagi dalam komunitas keagamaan karena ia merasa bahwa aktif disitu tapi tetap saja didera derita.

 

Jika seseorang merespons masalah yang datang ke dalam kehidupannya dengan sikap “marah” dan atau “complain” kepada Tuhan berarti ia belum menghayati benar hakikat keberadaan Tuhan. Kondisi (psikologis) seperti itu menutup hasrat seseorang untuk bersyukur, bersukacita, memuji nama Tuhan, serta berserah kepadaNya melalui ibadah.

 

Selama ini kita memahami bahwa manusia sebagai makhluk yang fana senantiasa hidup dalam relasi dengan Sang Khalik. Wujud konkret dari relasi itu telah diatur oleh agama-agama dan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan ajaran masing-masing agama.

 

Dalam relasi itulah manusia mengekspresikan kediriannya kepada Tuhan Yang Maha Esa, di dalamnya ada syukur dan sukacita serta pujian kepada Tuhan atas karya akbarNya ditengah kekinian sejarah. Dalam bentuknya yang paling genuine, manusia sebelum mengenal agama-agama modern juga sudah berelasi dengan Sang Transenden.

 

Memuji kebesaran nama Tuhan karena ciptaanNya yang tiada terbandingkan tidaklah mudah jika tidak melalui proses pembiasaan. Kita harus terbiasa memuji orang-oran terdekat dengan kita: istri/suami, anak-anak, cucu karena karya mereka dibidang masing-masing. Masihkah kita memuji istri kita ketika ia memasak masakan kesukaan kita, atau tatkala ia pulang dari salon dengan kebaya dan sanggul? Masihkah kita memuji suami kita karena ia baru saja mencukur rambutnya dengan gaya undercoat? Masihkah kita memuji anak-anak kita karena studinya berhasil baik? Memuji orang-orang terdekat, kawan-kawan di komunitas adalah sejenis “latihan” agar kita juga terbiasa memuji Kuasa Transenden dalam relasi kita dengan Tuhan.

 

Ketiadaan puji memuji dalam sebuah rumah tangga yang sudah berdiri lebih dari 50 tahun terkadang bisa menimbulkan kondisi-kondisi tertentu yang bisa berakibat pada keretakan rumahtangga. Pujian antar manusia sudah hidup lama dan menjadi bagian dari sejarah peradaban manusia.

 

Kita bisa memuji orang-orang yang terdekat dengan kita, komunitas kita, para pemimpin kita, dengan pujian yang tulus dan ikhlas, tanpa pamrih, tanpa bermaksud apa-apa. Kondisi seperti itu akan besar manfaatnya untuk memelihara kesolidan keluarga dan keutuhsatuan umat. Sikap memuji dan bersukacita bagi Tuhan Sang Maha Pencipta adalah juga sesuatu yang diperlukan bagi manusia fana. Pepatah yang dikutip dibagian awal menegaskan “seluruh dunia bersukacitalah kepada Allah”.

 

Frederick Douglas adalah seorang Negro yang berperang menentang perbudakan. Ia memuji Abraham Lincoln dengan pujian yang amat menyentuh. Katanya: “Presiden adalah salah seorang dari seglintir manusia yang selama satu jam lebih kulalui bersamanya tanpa pernah mengingatkan bahwa aku adalah seorang Negro”.

 

Kita sebagai manusia dipanggil untuk selalu bersyukur dan bersukacita kepada Allah oleh karena banyak hal : kita diberikan kehidupan, kita diberi ruang dan kesempatan untuk berkarya sesuai dengan talenta dan kompetensi kita. Dengan bersyukur dan bersukacita  kepada Allah maka diri kita makin mendekat dan berserah kepada Allah. Itu berarti sifat dan perbuatan kita yang bertentangan dengan ajaran agama tidak lagi mendapat tempat dalam tubuh dan diri kita yang fana.

 

Semua agama dan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa mengajak umat/penganutnya untuk hidup bersyukur dan bersukacita kepada Allah. Bangsa Indonesia adalah bsngsa yang religius. Religiusitas bangsa diwujudkan dalam melaksanaan ajaran agama, dan dalam *menolak* dan *meniadakan* seluruh perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama. Mari kita ajak seluruh dunia untuk bersyukur dan bersukacita kepada Tuhan. Sejalan dengan itu kita berkomitmen untuk menjalankan kehidupan kita sesuai dengan perintah agama.

 

Selamat berjuang. God bless.

 

*Weinata Sairin*

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here