PDT. WEINATA SAIRIN: MENJADI PEMBELAJAR SEJATI TANPA HENTI

0
536

 

 

“It is impossible to begin to learn that which one thinks one already knows”. (Epictetus)

 

Belajar, menempuh pendidikan tidak pernah mengenal batas usia. Belajar dan menempuh pendidikan juga tidak mengenal waktu, tempat dan atau batas-batas geografis sebuah negara. Banyak sekali pepatah-pepatah dan atau ungkapan yang berhubungan dengan pentingnya pendidikan bagi umat manusia. Kata para tokoh agama “pendidikan itu berlangsung sepanjang hayat, sejak lahir hingga ke liang lahat. Tuntutlah ilmu hingga ke negeri Cina..”. Pendidikan itu sendiri dalam arti tertentu adalah sebuah power, hanya mereka yang berpendidikan (tinggi)lah mereka yang memiliki power dan bahkan powerfull.

 

Ada banyak kisah masa lampau yang cukup menarik tentang pendidikan. Seorang ibu datang kepada Aristoteles dan bertanya : “Kapan seharusnya aku mulai melatih anakku?” Berapa umur anakmu sekarang?” tanya Aristoteles. “Ia berumur lima tahun” jawab sang ibu. Lalu Aristoteles berkata: “Cepat pulang! Kau sudah terlambat 5 tahun”.

 

Tak bisa kita bayangkan bagaimana kagetnya sang Ibu mendengar jawaban Aristoteles pada zaman itu. Ia terlambat 5 tahun? Andai filsuf besar itu masih hidup dan tinggal di Jakarta pasti ia katakan agar sang Ibu segera membawa anaknya ke berbagai program Paud yang sudah nenjamur diberbagai tempat.

Suatu saat Abraham Lincoln diejek sahabatnya demikian : “Mengapa kau membaca begitu banyak? “Sahabat itu menyatakan : “Pendidikan tidak memberi pertolongan apapun dalam mendapatkan pekerjaan”. Lincoln menjawab : “Aku tidak mendidik diriku untuk mendapatkan  penghasilan. Aku sedang mencoba menemukan apa yang harus kulakukan sejak aku mendapatkannya”.

 

Namun ada juga kelompok orang yang beranggapan bahwa pendidikan itu memiliki limit, memiliki batas waktu. Seseorang yang sudah bekerja dianggap tidak lagi ‘pantas’ untuk belajar! Bossuet seorang pendeta Perancis suatu saat diangkat menjadi uskup Meause. Sesudah pengangkatannya Raja Louis XIV dari Perancis menanyai warga Meause apakah mereka menyukai uskup mereka. “Ada apa Tuanku? Kami sangat menyukai uskup kami. Semuanya baik-baik saja”. Namun ada seorang warga yang menyatakan dengan jujur : “Yang Mulia, kapan saja kami membutuhkannya, selalu saja diberitahukan kepada kami bahwa ia sedang _belajar_. Kami lebih suka kepada seorang uskup yang sudah menyelesaikan pendidikannya” Ini tentu pandangan yang tidak baku di sebuah zaman, ketika seorang pejabat tidak lagi dianggap memiliki kesempatan untuk belajar!

 

Belajar adalah sebuah proses berkesinambungan dalam hidup ini yang tiada mengenal akhir.  Belajar tidak membutuhkan ruang kelas, atau ruang apapun; belajar juga tidak mesti berakhir dengan mendapatkan sertifikat atau surat tanda tamat belajar atau benda apapun. Belajar dalam ruang-ruang kehidupan ini memiliki makna yang amat luas. Kata “belajar” tidak selalu sama dengan seseorang yang sedang mengikuti kursus menyetir mobil; yang biasanya mengendarai mobil dibimbing oleh instruktur dan dibelakang mobil itu ada tulisan “Belajar”. Baik polisi maupun orang-orang yang sedang berkendaraan di jalan raya memperlakukan mobil itu secara khusus, karena status pengendaranya sedang “belajar”. Sesudah berlangsung 3 atau 6 bulan aktivitas itu selesai dan orang itu mendapatkan sertifikat yang akan memudahkannya dalam mengurus SIM.

 

Proses dan hakikat “belajar” sang uskup di Meause Perancis yang di komplain oleh warganya itu, berbeda dengan “belajar”nya seseorang pada kursus menyetir mobil yang dikisahkan diatas tadi. Kita semua, yang telah tamat dari lembaga pendidikan, yang telah menyelesaikan seluruh proses dan tahap pendidikan di lembaga pendidikan dan disebut *alumni* dari sekolah itu, akan terus *belajar*. Belajar dalam arti memantapkan ilmu yang kita miliki atau juga menambah ilmu kita dengan berbagai perkembangan baru.

 

Kita adalah sosok pembelajar sepanjang hayat. Sumber belajar bertebaran dimana-mana. Sejak dulu kita mengenal peribahasa “alam  takambang jadi guru”. Guru kita adalah alam itu sendiri, alam yang dicipta dengan sangat baik oleh Sang Pencipta. Alam yang mestinya kita jaga, kelola dan pelihara dengan baik. Agama-agama telah memerintahkan kita untuk menuntut ilmu, untuk belajar terus menerus. Konsep berfikir “long life education” memposisikan manusia untuk menjadi sosok pembelajar sepanjang waktu. Belajar tidak mensyaratkan adanya komputer atau lap top type terbaru, belajar tidak juga mensyaratkan adanya ruang ber-AC; belajar membutuhkan komitmen, komitmen untuk melayani orang lain dengan baik, dengan prima; komitmen untuk *mengubah* *menggugah* dan *menggubah*. Menarik sekali ungkapan orang besar selevel Epictetus yang menyatakan ketidakmungkinan kita untuk belajar jika kita merasa bahwa kita sudah tahu semua.

 

Kita harus “mengosongkan diri” dengan menganggap tidak tahu apa-apa, menganggap diri “bodoh” lalu dengan demikian kita haus untuk belajar, untuk mencari tahu, melalui buku, google, internet dan atau berbagai sumber belajar yang lain, yang banyak tersedia. Kehausan akan ipteks, kemauan untuk melakukan _inkuiri_ akan sangat bermakna bagi kita untuk mengembangkan diri sehingga kiprah dan kontribusi kita bagi kehidupan ini makin signifikan.

 

Selamat berjuang. God bless.

 

*Weinata Sairin.*

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here